Senin, 01 November 2010

Pelaksanaan Perkawinan dengan Wali Hakim di Kantor Urusan Agama


Perkawinan amat penting bagi kehidupan manusia, baik perseorangan ataupun kelompok dengan jalinan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk yang berkehormatan di antara makhluk tuhan lainya. Allah SWT telah menetapkan cara-cara tersendiri dalam menjalani hidup dengan berpasang-pasangan. cara-cara tersebut diatur dalam lembaga perkawinan, Hal ini sesuai dengan keberadaan islam sebagai Agama fitrah yang datang bukan untuk membunuh kecenderungan-kecenderungan manusia, melainkan untuk membimbing dan mengarahkan sesuai kehendak sang pencipta.

Pengertian perkawinan menurut UU No.1 tahun 1974 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria & seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia & kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan ketentuan pasal 2 ayat 1, UU Perkawinan maka suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, hal ini dapat di pakai sebagai dasar hukum berlakunya hukum perkawinan islam di indonesia sebagai peraturan khusus di samping peraturan umum yang di atur dalam Undang-Undang perkawinan untuk warga negara Indonesia yang beragama Islam, yang kebanyakanmenganut ajaran dari mahzab Syafi'i.

Menurut hukum islam, perkawinan antara mempelai laki-laki dengan mempelai perempuan dilakukan di depan dua orang saksi laki-laki dengan menggunakan kata-kata ijab kabul. Ijab di ucapkan pihak perempuan yang menurut kebanyakan fuqaha dilakukan oleh walinya atau wakilnya, sedang kabul adalah pernyataan menerima dari pihak laki-laki.

Di dalam negara yang berdasarkan hukum segala sesuatu yang ada hubungan perilaku atau tingkah laku manusia harus di atur sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kaedah-kaedah hukum yang berlaku. Sehubungan dengan hal tersebut perkawinan di Indonesia harus di lakukan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) bagi yang beragama islam.Pegawai Pencatat Nikah mempunyai kewenangan yang jelas dalam peraturan perundangundangan di Indonesia sejak dikeluarkanya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1946 Jo Undang-Undang Nomor 32 tahun 1954, sampai sekarang yang berkaitan dengan perkawinan di Indonesia.

Setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah agar mempunyai kedudukan yang kuat menurut hukum, Ia sebagai pegawai negri yang di angkat oleh Menteri Agama pada tiap-tiap kantor Urusan Agama Kecamatan. tugas pokok pembantu PPN di atur dalam peraturan Menteri Agama nomor.2 tahun 1989 yaitu membantu pegawai pencatat nikah dalam melaksanakan pelayanan nikah dan rujuk serta melaksanakan pembinaan kehidupan beragama Islam di desa, dengan demikian PPN masing masing mempunnyai tugas dan fungsi yang jelas, karena ditetapkan dengan peraturan yang berlaku.

UU perkawinan tidak terlepas dari hukum perkawinan yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam, syarat sah dan rukun sebuah perkawinan salah satunya adalah Wali nikah pengertian dan dasar hukum adanya wali nikah terdapat dalam pasal 1(b)tentang devinisi wali adalah”wali nikah yang di tunjuk oleh Menteri Agama atau Pejabat yang di tunjuk olehnya yang di beri hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah, selanjutnya dalam Kompilasi Hukum Islam yang membahas tentang wali nikah terdapat pada pasal 19-23 dan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang mengatur Wali nikah pada pasal 6(1-6).

Pernikahan tidak dapat berlangsung dengan tindakan atau ucapan perempuan itu sendiri. Sebab, perwalian merupakan syarat yag harus terpenuhi demi keabsahan akad nikah. Dan yang mengakadkan haruslah seorang Wali yang berhak. Dasarnya Firman Allah:
Qs.An-Nur(24): 32

dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui."

Wali dalam kaitannya perkawinan dibedakan menjadi tiga (3):

a. Wali Nasab, ialah laki-laki yang beragama islam yang berhubungan darah dengan calon mempelai wanita dari pihak ayah.

b. Wali Hakim, ialah pejabat yang di tunjuk oleh Mentri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon mempelai perempuan yang punya wali.

c. Wali Muhakam, ialah seorang yang beragama islam di angkat oleh kedua calon suami-istri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah.

Kedudukan wali sangat penting sebagaimana diketahui bahwa yang berhak menjadi wali nikah terhadap seorang wanita adalah hak bagi wali nasab apabila wali nasab tidak ada dan wali ghaib juga tidak ada maka perwalian pindah ke tangan wali hakim.

Dalam hal seorang wanita tidak mempunyai wali sama sekali, para fuqoha telah sepakat tentang kebolehanya menggunakan wali hakim, tetapi hal perkawinan dengan wali hakim yang disebabkan oleh faktor yang lain, ternyata masih terdapat perbedaan pendapat.

Apabila wali tidak mau menikahkan, apakah diperbolehkan menggunakan wali hakim?

Jika wali tidak mau menikahkan, harus dilihat dulu alasannya, apakah alasan syar’i atau alasan tidak syar’i. Alasan syar’i adalah alasan yang dibenarkan oleh hukum syara’, misalnya anak gadis wali tersebut sudah dilamar orang lain dan lamaran ini belum dibatalkan, atau calon suaminya adalah orang kafir (misal beragama Kriten/Katholik), atau orang fasik (misalnya pezina dan suka mabok), atau mempunyai cacat tubuh yang menghalangi tugasnya sebagai suami, dan sebagainya. Jika wali menolak menikahkan anak gadisnya berdasarkan alasan syar’i seperti ini, maka wali wajib ditaati dan kewaliannya tidak berpindah kepada pihak lain (wali hakim) (Lihat HSA Alhamdani, Risalah Nikah, Jakarta : Pustaka Amani, 1989, hal. 90-91)



Jika seorang perempuan memaksakan diri untuk menikah dalam kondisi seperti ini, maka akad nikahnya tidak sah alias batil, meskipun dia dinikahkan oleh wali hakim. Sebab hak kewaliannya sesungguhnya tetap berada di tangan wali perempuan tersebut, tidak berpindah kepada wali hakim. Jadi perempuan itu sama saja dengan menikah tanpa wali, maka nikahnya batil. Sabda Rasulullah SAW,”Tidak [sah] nikah kecuali dengan wali.” (HR. Ahmad; Subulus Salam, III/117).


Namun adakalanya wali menolak menikahkan dengan alasan yang tidak syar’i, yaitu alasan yang tidak dibenarkan hukum syara’. Misalnya calon suaminya bukan dari suku yang sama, orang miskin, bukan sarjana, atau wajah tidak rupawan, dan sebagainya. Ini adalah alasan-alasan yang tidak ada dasarnya dalam pandangan syariah, maka tidak dianggap alasan syar’i. Jika wali tidak mau menikahkan anak gadisnya dengan alasan yang tidak syar’i seperti ini, maka wali tersebut disebut wali ‘adhol. Makna ‘adhol, kata Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, adalah menghalangi seorang perempuan untuk menikahkannya jika perempuan itu telah menuntut nikah. Perbuatan ini adalah haram dan pelakunya (wali) adalah orang fasik (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham Al-Ijtima’i fi Al-Islam, hal. 116). Firman Allah SWT :


…maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf.” (TQS Al-Baqarah : 232)


Jika wali tidak mau menikahkan dalam kondisi seperti ini, maka hak kewaliannya berpindah kepada wali hakim (Imam Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab, II/37; Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, IV/33). Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW,”…jika mereka [wali] berselisih/bertengkar [tidak mau menikahkan], maka penguasa (as-sulthan) adalah wali bagi orang [perempuan] yang tidak punya wali.” (Arab : …fa in isytajaruu fa as-sulthaanu waliyyu man laa waliyya lahaa) (HR. Al-Arba’ah, kecuali An-Nasa`i. Hadits ini dinilai shahih oleh Ibnu ‘Awanah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim, Subulus Salam, III/118).


Yang dimaksud dengan wali hakim, adalah wali dari penguasa, yang dalam hadits di atas disebut dengan as-sulthan. Imam Ash-Shan’ani dalam kitabnya Subulus Salam II/118 menjelaskan, bahwa pengertian as-sulthan dalam hadits tersebut, adalah orang yang memegang kekuasaan (penguasa), baik ia zalim atau adil (Arab : man ilayhi al-amru, jaa`iran kaana aw ‘aadilan). Jadi, pengertian as-sulthaan di sini dipahami dalam pengertiannya secara umum, yaitu wali dari setiap penguasa, baik penguasa itu zalim atau adil. (Bukan hanya dari penguasa yang adil). Maka dari itu, penguasa saat ini walaupun zalim, karena tidak menjalankan hukum-hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, adalah sah menjadi wali hakim, selama tetap menjalankan hukum-hukum syara’ dalam urusan pernikahan.


Untuk mendapatkan wali hakim, datanglah ke Kepala KUA Kecamatan tempat calon mempelai perempuan tinggal. Hal ini karena di Indonesia sejak 14 Januari 1952 berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1952, wali hakim dijalankan oleh Kepala KUA Kecamatan, yang dilaksanakan oleh para Naib yang menjalankan pekerjaan pencatatan nikah dalam wilayah masing-masing. Peraturan ini berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura. Sedang untuk luar Jawa dan Madura, diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1952 dan mulai berlaku mulai tanggal 1 Juli 1952

4 komentar:

Pak ustadz,,saya mau bertanya,,bulan maret kemarin saya meng khitbah seorang ahwat,,dan alhamdulilah di setujui,,bahkan tanggal pernikahanpun telah di tetapkan,,namun 5 hari setelah acara khtitbah,,tiba2 minta di undur dengan alasan ada adik dari calon wali yg tidak setuju dengan saya dengan alasan usia saya dibawah calon istri saya,, calon wali saya tidak mau menikahkan dengan alasan adiknya tidak setuju,,padahal di acara lamaran semua sudah setuju calon wali saya bilang saya harus menunggu sampai adiknya setuju,,pak ustad bolehkah saya menggunakan wali hakim??

sy wanita berumur 24 thn.
thn 2013 lalu sy d khitbah oleh pacar sy (sudah 4 thn pacaran).
sbelumnya pacar sy sudah bicara 4 mata dgn ayah sy,dan beliau pun mendukung penuh niat kami utk menikah.
tetapi selama adanya prtemuan 2 pihak kluarga,sikap Ayah sy berubah ketika 2 org kakak nya tdk setuju.
ktidak setujuan tsb hanya karena uang dr pihak laki2 tdk sesuai dgn yg di tentukan oleh kluarga sy.
yg ingin sy tanyakan,bolehkah wali nasab di gantikan ke wali hakim??

pa sy wanita umur 22th ayah sy tadinya kristen terus pas nikah sama bunda sy masuk islam tahun 2012 ayah sama bunda sy cerai dan dia pindah ke agamanya lagi ? tapi ktp dia masih islam ? sy sudah di lamar cowo dan rencana menikah bulan july ini tapi masalahnya sy tanya ke KUA mana pun sy tetep gak bisa menikah karna wali sy masih hidup ? dan agama di ktpnya masih islam ? sy punya ade laki2 pun tidak bisa waliin sy karna ayah sy masih hidup ? dan sy di suruh mengurus untuk wali adol ? mohon pencerahannya pak ustad 🙏😔😭

Assalammualaikum.. Saya wanita berusia 20 tahun saya memiliki seorang kekasih lelaki beragama khatolik,tetapi kami ingin melnjutkan hubungan kami berdua ke jenjang pernikahan dan kekasih saya melamar kerumah saya.. Tetapi orang tua saya tidak setuju karena agama kekasih saya non muslim, tetapi kekasih saya bersedia memeluk agama islam untuk bisa menikahi saya,tetapi orang tua saya malah memberikan persyaratan yg tidak bisa di ikuti kekasih saya salah satu nya meminta uang jujuran yg sangat besar.. Sedangkan kekasih saya memiliki keluarga yang sederhana.. Sehingga kekasih saya tidak bisa menuruti persyaratan tersebut.. Hingga sekarang kami belum bisa menikah karena alsan orang tua saya tidak setuju karena agama kekasih saya katolik.. Tetapi kekasih saya bersedia memeluk agama islam... Bagaimana solusi nya ya, smpai sekrang saya dan kekasih saya masih menjalin hubungan yang tidak di restui orang tua saya.. Saya dan kekasih saya sepakat untuk menikah karena kami tidak ingin lebih lama berpacaran krena dosa dan takut akan kezinahan.. Apa kah saya bisa menikah menggunakan wali hakim setelah kekasih saya memeluk agama islam? Terima kasih sebelum nya..
Wassalammualaikum

Posting Komentar

tes

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More