Keluarga Besar KUA Boyolali

Pisah kenal Kepala KUA Kec. Boyolali berpose bersama P3N se Kecamatan Boyolali

Kepala KUA Kec. Boyolali

Kepala KUA Kec. Boyolali, H. Kusaeni, S.PdI memberi sambutan dalam rakor P3N Se-Kec. Boyolali

Rakor dan Pembinaan Penyuluh

Rakor dan Pembinaan Penyuluh Agama Islam Fungsional dan Honorer Kecamatan Boyolali

Pelatihan Khatib dan Da'i Muda

Pelatihan Khatib dan Da'i muda merupakan salah satu program tahunan dari KUA Kec. Boyolali dan Penyuluh Agama Islam Kec. Boyolali dan mendapat respon baik dari masyarakat

KUA Kec. Boyolali

Pintu masuk KUA Kec. Boyolali...Monggo Pinaraak..

Kamis, 27 Desember 2012

KAJIAN TAFSIR SURAT ‘ABASA

Oleh : Iwan Hafidz Zaini, S.HI

A.           Pendahuluan 
Surat ‘Abasa merupakan surat Makkiyah, terdiri dari 42 ayat diturunkan sesudah surat an-Najm. Nama yang paling populer dari surat ini adalah surat  ‘Abasa atau yang bermuka masam. Surat ini dinamai pula dengan surat as-Shakhah (yang memekakan telinga), As-Safarah (para penulis Kalam Ilahi) dan surah al-‘Ama (sang tuna netra). Nama-nama tersebut terambil dari kata-kata yang terdapat dalam surat ini. Seorang pakar tafsir Ibnu Arabi dalam bukunya Ahkam Alqur’an menamai surat ini dengan surat Ibn Umi Maktum karena awal surat ini turun berkenaan dengan kasus sahabat Nabi yang buta itu.
Surat 'Abasa dimulai dengan sebuah kritikan terhadap Nabi Muhammad saw. saat dirinya berpaling dari seorang sahabat tunanetra, bernama Ibn Umm Maktum, yang sangat berharap mendapatkan ilmu dan petunjuk dari Nabi. Saat itu, Rasulullah sedang sibuk menerima tamu dari kalangan pembesar Quraisy dengan harapan mereka akan memberikan respon yang baik atas ajakan dan dakwah beliau. Diharapkan, melalui para pemuka kaum itu, akan semakin bertambah kalangan yang akan memeluk agama Islam.

Ayat-ayat berikutnya mengingatkan manusia akan nikmat-nikmat Tuhan yang diberikan kepada mereka semenjak lahir hingga ajal tiba. Sedang bagian akhir surat 'Abasa ini membicarakan tentang peristiwa hari kiamat. Ditegaskan dalam beberapa ayat bahwa manusia, kelak, hanya terpilah menjadi dua golongan saja. Pertama, orang-orang beriman yang bersukacita dan kedua, orang-orang kafir pembuat kejahatan

B.            Asbabun Nuzul
Suatu ketika Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam, sedang berbincang di sekitar Ka'bah bersama dengan bangsawan musyrik Quraisy di Makkah. Keberadaan Nabi  disana dalam rangka menjelaskan ajaran Islam kepada mereka. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam berharap dengan masuk Islamnya pada pembesar Quraisy itu dakwah Islam makin tersebar luas. Tiba-tiba seorang laki-laki buta bernama Abdullah bin Ummi Maktum menerobos masuk perbincangan itu seraya berseru. "Wahai Rasulullah, ajarkan padaku apa-apa yang diajarkan Tuhanmu kepadamu." Karena matanya yang buta, Abdullah tidak mengetahui keadaan Rasulullah yang sedang serius berdakwah. Kedatangannya yang tiba-tiba dan disertai suara Abdullah yang lantang sangat mengganggu Rasulullah. Rona wajah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menjadi kusut dan kening beliau tampak berkerut.

Akibat ulah Abdullah, Rasulullah berusaha tetap konsentrasi menghadapi para pembesar itu dan tidak menghiraukan ucapan si buta. Abdullah yang terus menerus mendesak Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam agar mengajarinya tanpa mengetahui keadaan yang sebenarnya membuat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam pun semakin terlihat tidak senang dengan sikap Abdullah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam ditegur Allah karenanya
Saat itu pula Allah Subhanahu wa ta'ala menegur sikap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, dalam firmannya:

Artinya: "Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan diri (dari dosa) atau (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat baginya? Adapun orang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada celaan atasmu bila dia tidak membersihkan diri (beriman). Dan adapun yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk memperoleh pengajaran) sedang ia takut kepada Allah, maka engkau mengabaikannya. Sekali-kali jangan (berbuat demikian_. Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan adalah suatu peringatan. Maka siapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya". (Q.S. Abasa: 1-12).  

C.           Kandungan Surat Abasa

Ayat 1- 16 surat Abasa ini Allah membicarakan teguran-Nya terhadap Nabi Muhammad Saw. Sebagaimana yang telah penulis jelaskan diatas bahwa asbabun nuzul surat ini adalah sebagai teguran Allah kepada Nabi Muhammad Saw yang telah mengabaikan kedatangan seorang tunanetra bernama Abdullah Ibn Ummi Maktum yang hendak meminta nasehat kepada Beliau. Nabi berpaling dari Abdullah karena sedang sibuk menjelaskan risalahnya kepada tokoh-tokoh kaum musyrikin Quraisy Makkah yang salah seorang tokoh utamanya bernama Walid Bin Mughiroh. Beliau berharap ajakannya dapat menyentuh hati dan pikiran mereka sehingga mereka bersedia memeluk Islam dan tentunya akan membawa dampak positif bagi perkembangan dakwah Islam.

Penyebutan kata 'abasa (dhomir ghoib) yang tidak secara langsung menunjuk Nabi Saw., mengisyaratkan betapa halus teguran ini dan betapa Allah pun –dalam mendidik Nabi-Nya- tidak menuding beliau atau secara tegas mempersalahkannya. Ini menurut al-Biqa’i, mengisyaratkan bahwa apa yang beliau lakukan ketika itu sungguh berbeda dengan akhlak beliau sehari-hari yang sangat kasih kepada yang butuh dan selalu senang berada di tengah mereka. (Quraisy Shihab, 2002:71)

Kita sepakat bahwa kurang tepat bila memotong atau menginterupsi percakapan orang lain dan seseorang yang melakukan hal yang demikian akan dianggap kurang sopan. Maka bila interupsi yang kurang pada tempatnya ini menyebabkan kurang senangnya Nabi S.a.w. maka hal itu sesuai dengan sopan-santun masyarakat beradab. Namun, karena Ibnu Ummi Maktum adalah seseorang yang miskin dan buta yang melakukan pelanggaran terhadap perilaku beradab ini, maka Allah Yang Maha-tinggi memandang tidak diharapkan bila Nabi mengabaikan orang semacam ini dan tetap berbicara dengan kaum elit saja. Untuk menghibur dan memberi semangat kepada orang miskin, maka penting untuk tidak membedakan mereka dalam majelis, bahkan si miskin harus diberi keutamaan daripada si kaya. Karena Islam datang untuk mengajar umat prinsip luhur perilaku kemanusiaan dengan akhlak mulia.

Ibnu Ummi Maktum, walaupun ia fakir dan buta mata tetapi ia tidak fakir iman dan buta hati. Ia lebih mampu memelihara diri dan mensucikannya dari dosa. Hatinya lebih tergugah dan terpanggil untuk tunduk kepada mauidhoh Allah dan Rasul-Nya. Adapun mereka yang bergelimang harta dan kekayaan, kebanyakan mereka adalah para pembangkang yang bodoh. Mereka tidak perlu didekati dan diperhatikan hanya karena mengharapkan mereka dan pengikutnya memeluk agama Islam. Dari sini, dapat dipetik suatu hikmah bahwa kekuatan manusia terletak pada kecerdasan nurani dan hatinya yang senantiasa hidup serta ketundukannya kepada kebenaran yang diyakininya.  (Al-Maraghy, 1993: 72)

Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa orang yang diperlakukan Rasulullah Saw tidak semestinya itu ternyata memiliki kesucian hati yang penuh dengan cahaya keimanan kepada Allah Swt. Ia dapat mensucikan dirinya dengan peringatan dan nasehat yang diterimanya dari Rasulullah Saw sehingga suci dari segala dosa. Karenanya peringatan dan nasehat Rasulullah kepadanya benar-benar bermanfaat bila dibandingkan dengan para pembesar Quraisy yang belum pasti dapat menerima ajakan Rasulullah SAW. Di sini Allah juga menegaskan bahwa apa yang ada dalam hati seseorang hanya dapat diketahui oleh Allah SWT .(Al-Biqa’I, 1992:251)

Atas teguran Allah dalam surat ini Rasul Saw akhirnya menggugurkan timbangan sosial yang ada di Arab pada waktu itu, yaitu penilaian berdasarkan kasta. Rasulullah menikahkan putrid bibu beliau, Zainab binti Jahsy Al-Asadiyah dengan mantan budak beliau yang bernama Zaid bin Haritsah, walaupun masalah perkawinan sangat sensitif saat itu. Rasul juga mempersatukan Salman Al-Farisi yang bukan berbangsa Arab dengan jamaah Islam sampai mengikis rasisme kulit.

Ayat-ayat ber­ikutnya menunjukkan ke­heranan terhadap sikap orang-orang yang berpaling dari petunjuk, tidak mau beriman, dan menyom­bongi dakwah ke jalan Tuhannya. Segmen ini me­nunjukkan keheranan terhadap sikap orang itu dan kekafirannya, yang tidak mau mengingat sumber keberadaannya dan asal-usul kejadiannya. Juga yang tidak mau memperhatikan pemeliharaan dan per­lindungan Allah kepada dirinya dalam setiap tahapan pertumbuhan dan perkembangan dirinya sejak per­tama hingga terakhir dan tidak mau menunaikan kewajibannya terhadap Penciptanya, Penjaminnya, dan Penghisabnya.


Artinya: “Binasalah manusia, alangkah amat sangat kekafiran­nya. Dari apakah Allah menciptakannya? Dari setetes mani Allah menciptakannya dan menentukannya. Kemudian Dia memudahkan jalannya. Lalu, Dia me­matikannya dan memasukkannya ke dalam kubur. Apabila Dia menghendaki,Dia membangkitkannya kembali. Sekali-kali jangan, manusia itu belum melak­sanakan apa yang diperintahkan Allah kepadanya.” (‘Abasa: 17-23)

Kelompok ayat iini berbicara tentang keniscayaan hari Kemudian dan sikap manusia yang durhaka terhadapnya. Mereka mengingkari itu pastilah enggan memerhatikan al-Qur’an yang sifatnya demikian agung, sebagaimana diuraikan sebelum ayat-ayat diatas, karena sungguh binasalah manusia yang durhaka, alangkah amat sangat besar kekafirannya. Bukan saja pada banyaknya kekufuran, tetapi juga pada kualitas kekufurannya yang demikian mantab serta terjadi kapan dan dimana saja. Apakah yang membuatnya ingkar? Mengapa ia enggan percaya keniscayaan kiamat? Tidakkah ia berfikir dari apakah Allah menciptakannya? Tanpa menunggu jawaban, langsung saja dijawab, dari setetes mani yang kadarnya sangat sedikit dan terlihat menjijikkan.

Dari sesuatu yang tidak ada harganya sama sekali, dari bahan pokok yang tidak ada nilainya. Akan tetapi, Penciptanyalah yang menentukannya dengan menciptakan dan mengaturnya. Dia menentukannya dengan memberinya harga dan nilai, menjadikannya makhluk yang sempurna, dan menjadikannya makh­luk yang mulia, serta mengangkatnya dari asal-usul yang hina dan rendah ke tempat dan kedudukan tinggi yang untuknyalah bumi dengan segala sesuatunya diciptakan. Direntangkan untuknya jalan kehidupan, atau di­bentangkan untuknya jalan petunjuk, dan dimudah­kan baginya untuk menempuhnya dengan peralatan­-peralatan dan potensi-potensi yang diberikan-Nya, baik untuk menempuh kehidupan maupun menem­puh hidayah tersebut.
Hingga apabila perjalanan hidup sudah berakhir, maka selesailah kehidupan dan aktivitasnya sebagaimana yang dialami oleh semua makhluk hidup, tanpa ada pilihan lain dan tanpa dapat meng­hindar.

Maka, urusan kesudahannya ini seperti urusan­nya dalam permulaannya, berada di tangan Dzat yang telah mengeluarkannya kepada kehidupan dan menyudahi kehidupannya manakala Dia meng­hendaki. Juga menjadikan tempat tinggalnya di perut bumi, sebagai penghormatan baginya dan untuk memeliharanya. Dia tidak menyunnahkan untuk membiarkan tubuhnya dan anggota-anggotanya berserakan di muka bumi. Bahkan, Dia menjadikan insting manusia berkeinginan menutup dan me­ngubur mayat. Maka, semua ini termasuk peng­aturan dan penataan-Nya. Sehingga, apabila telah tiba waktu yang dike­hendaki-Nya, maka dikembalikanlah manusia itu kepada kehidupan untuk menghadapi urusan yang dikehendaki-Nya.

Artinya: “Apabila datang suara yang memekakkan (tiupan sangkakala yang kedua), pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, ibu dan bapaknya, serta istri dan anak­-anaknya; maka setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya. Banyak muka pada hari itu berseri-seri, tertawa, dan gembira ria. Banyak (pula) muka pada hari itu tertutup debu, dan ditutup lagi oleh kegelapan. Mereka itulah orang-orang kafir lagi durhaka.” (QS. ‘Abasa: 33-42)

Kata “as-shaakhkhah” (الصَّاخَّةُ) adalah lafal yang memiliki bunyi yang keras dan menembus, hampir memekakkan gendang telinga. Ia membelah angkasa, hingga sampai di telinga sebagai teriakan yang sangat keras dan bertubi-tubi. Bunyi yang sangat keras ini sebagai pendahuluan bagi pemandangan berikutnya, yaitu pemandangan yang melukiskan orang yang lari dari manusia yang paling dekat dengannya.

Padahal, mereka saling terikat dengan jalinan-jalinan dan ikatan-ikatan yang tak terpisahkan, tetapi suara yang sangat keras itu merobek-robek ikatan-ikatan tersebut dan memutuskan jalinan­-jalinannya. Ketakutan dan kengerian dalam pemandangan ini bersifat individual, ’nafsi-nafsi’ terfokus pada dirinya sendiri’, menakutkan diri yang bersangkutan, me­misahkannya dari segala sesuatu yang melingkupi­nya, dan menekannya dengan tekanan yang berat. Maka, setiap orang hanya sibuk memikirkan dirinya dan urusannya. Ia merasakan kesedihan yang khusus, yang tidak meninggalkan orang yang memiliki ke­lebihan dalam pemikiran dan usaha.

Begitulah keadaan semua makhluk pada hari yang sangat menakutkan itu, ketika telah tiba suara yang memekakkan. Kemudian dilukiskanlah keadaan orang-orang yang beriman dan keadaan orang-orang kafir, sesudah mereka dinilai dan ditimbang dengan tim­bangan Allah di sana.
‘Banyak muka pada hari itu berseri-seri, tertawa, dan gembira ria.” (QS. ‘Abasa: 38-39)

Inilah wajah-wajah yang cerah ceria, berbinar-­binar, tertawa-tawa, bergembira-ria, penuh harapan kepada Tuhannya, dan merasa tenang karena me­rasakan keridhaan Tuhannya kepadanya. Maka, mereka selamat dari bencana suara yang meme­kakkan dan membingungkan. Atau, karena mereka sudah mengetahui tempat kembalinya, dan sudah jelas baginya tempat tinggalnya, lalu wajahnya ceria dan bergembira ria sesudah terjadinya peristiwa yang menakutkan dan membingungkan.

Dengan demikian, terdapat keserasian antara permulaan dan akhir surah. Bagian permulaan me­netapkan hakikat timbangan, dan bagian akhir me­netapkan basil timbangan. Terasa pulalah keman­dirian surah yang pendek ini dengan muatan dan cakupannya terhadap hakikat-hakikat yang besar, pemandangan-pemandangan, dan kesan-kesannya Dengan semua ini, sempurnalah keindahan dan kebagusannya yang halus lembut dan penyesalan, dan ditutupi oleh hitamnya kehinaan dan kerendahan. Mereka sudah mengetahui apa yang telah mereka kerjakan, karena itu mereka yakin akan pembalasan yang dinantikannya.

”Mereka itulah orang-orang kafir lagi durhaka “.

Yang tidak mau beriman kepada Allah dan risalah-risalah-­Nya, melanggar batas-batas-Nya, dan merusak apa-­apa yang diperintahkan-Nya untuk dihormati. Pada wajah setiap orang itu sudah terlukis tempat kembalinya masing-masing. Terlukis sifat-sifat dan identitas mereka dari celah-celah lafal dan kalimat Al­-Qur’an yang diungkapkan ini. Seakan-akan wajah­-wajah tersebut berupa sosok yang bersangkutan, karena kuatnya pengungkapan Al-Qur’an dan lem­butnya sentuhannya.

D.  KESIMPULAN

Dari pembahasan QS. ‘Abasa di atas bisa diambil kesimpulan bahwa:
  1. Tidak diperbolehkannya sikap diskriminatif dalam memberikan peringatan atau pun nasehat. Pada hakekatnya manusia sama di hadapan Allah. hanya ketaqwaan yang membedakan. Menilai seseorang bukan dari kekuatan harta kekayaan, pangkat, jabatan maupun keturunannya. Melainkan kekuatan seseorang itu terletak pada kecerdasan nurani  dan hati yang berpihak kepada kebenaran
  2. Manusia hendaknya memperhatikan dari apa ia diciptakan dan senantiasa mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan. Karena kehidupan di dunia tidak langgeng. Ada hari kebangkitan.

  • Disampaikan dalam Rakor dan Pembinaan Pokjaluh Kankemenag Kab. Boyolali Selasa, 18 Desember 2012
DAFTAR PUSTAKA

as-Shawy al-Maliki, Ahmad , 1993, Hasyiyah A’la Tafsir al-Jalalain, Beirut:Dar al-Fikr
al-Maraghy, Ahmad Mustafa, 1993, Tafsir al-Maraghi , Semarang:Cv. Toha Putra
al-Biqa’iy, Burhanudin Abu al-Hasan Ibrahim ibn Umar, 1992, Nazhm ad-Durar Fi Tanasub al-Ayat wa as-Suwar , Kairo:Dar al-Kitab al-Islamy
Shihab, M. Quraisy, 2002, Tafsir Al-Misbah, Jakarta:Lentera Hati


Selasa, 11 Desember 2012

Hakikat Khusyu'

 Oleh : Iwan Hafidz Zaini

Kalau kita bicara masalah khusyu', maka kita akan ingat sholat. Ya, khusyu' kebanyakan digandeng dengan kata 'sholat'. Sehingga jadilah sholat khusyu'. Apakah khusyu' itu hanya untuk sholat saja? Apakah sholat harus khusyu'?
Saya disini tidak akan membahas masalah kaifiyah atau cara bagaimana agar sholat khusyu'. Karena, seumur hidup saya sebagai muslim ini belum bisa sholat dengan khusyu'. Mungkin jika anda ikut pelatihan sholat khusyu' dengan bayar uang ratusan ribu atau jutaan rupiah itu bisa khusyu'. Kalau saya mungkin juga belum bisa khusyu' karena uang saya berkurang. Hehe..
Khusyu' dilihat dari segi bahasa berarti 'ketenangan/diam'. Dalam sholat, ada ulama' yg mengartikan khusyu' dengan rasa takut jangan sampai sholat yang dilakukannya tertolak. Ibnu Katsir mengatakan khusyu' dalam sholat baru terlaksana bagi yang mengonsentrasikan jiwanya sambil mengabaikan segala sesuatu selain yang berkaitan dengan sholat.
Lantas apakah khusyu' dalam sholat itu termasuk syarat sah atau tidak? Jika kita tanya pada ahli tasawuf maka mereka akan menjawab, iya. Tapi kalau kita tanya kepada ahli fiqih maka akan dijawab, tidak. Lho, kok bisa beda? Yg bener mana? Benar semua. Karena berdasar dalil Qur'an dan hadits. Namun, jika kita belum menuju 'maqom' tasawuf sebaiknya ikuti apa kata ahli fiqih / fuqoha'.
Kalau kita mengkaji fiqih pun sebenarnya para ulama' mempersiapkan musholli (org yg sholat) menuju khusyu'. Sebutlah dalam sholat tidak boleh bergerak berlebihan, pandangan mata tak boleh nolah-noleh, diusahakan mandang depan atau tempat sujud. Hal tersebut, bertujuan supaya khusyu'. Kadang khusyu' bisa juga karena terpaksa alias karena dilihat orang. Dalam fiqih dianjurkan sebisa mungkin ketika takbir pertama bisa khusyu'.
Sholat khusyu' ini mengikuti perintah Allah dalam al-Qur'an surat al-Mukminun 1-2:"Sesungguhnya telah beruntunglah orang-orang yg beriman, (yaitu) mereka yg khusyu' dalam sholat mereka."
Dan dalam surat lain ada ancaman bagi yang lalai dalam sholatnya alias tidak khusyu'. (QS. Al-Ma'un)
Pertanyaan yang kemudian timbul adalah apakah benar orang yang sholat tidak khusyu' bisa celaka? Atau apa yang dimaksud dengan ayat tersebut? Sholat saja celaka kok yang tidak sholat tidak dicelaka-celakakan?
Sebagaimana arti khusyu' menurut bahasa yaitu ketenangan. Maka, orang yang sholat dalam setiap ucapan dan gerakannya harus tenang dan mengetahui ia dilihat Allah. Sehingga dalam sholat ia tidak berani melanggar syarat ataupun rukun sholat. Jika ia melanggar, ia harus mengulangi sholatnya.
Jadi, Surat Al-Ma'un ini bermaksud orang yang 'berkualitas' sholatnya adalah orang yang sholatnya khusyu'. Sholat yang berkualitas adalah sholat yang bisa mencegah musholli dari perbuatan keji dan munkar. Jadi, kekhusyu'an itu tidak hanya ada ketika kita sholat. Tapi, diluar sholat juga harus khusyu' karena perbuatan-perbuatan kita lebih banyak dilakukan diluar sholat. Apakah perbuatan itu buruk atau baik.
Oleh karena itu, banyak yang salah kaprah dengan khusyu' dalam sholat. Sehingga mereka berusaha sekuat tenaga untuk khusyu' dalam sholat. Karena takut celaka sebagaimana teguran Allah dalam surat al-Maun tersebut. Tapi, disisi lain ketika mereka diluar sholat kekhusyukan itu hilang. Dalam bekerja tidak khusyu', tidak tahan terhadap godaan-godaan hidup yang dilarang Allah. Sehingga perbuatan keji dan munkar yang menjadi substansi dari sholat tidak ada. Sebagaimana kata sebagian dari kita, 'Tuhan hanya berada di tempat ibadah', maka diluar tempat ibadah kita sudah berani menentang-Nya.
Itulah sebenarnya orang yang celaka. Orang yang lalai terhadap sholatnya. Karena ketika tidak sholat sudah lupa substansinya, yaitu mencegah perbuatan keji dan munkar
Ini mungkin bisa menjadi jawaban kenapa di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, malingnya juga banyak, koruptor juga berkembang, kekerasan merajalela, dll. Karena, hanya khusyu' ketika dalam sholat saja. Tidak ketika diluar sholat.
Oleh karena itu tepat jika Allah berfirman bahwa menjadi pribadi khusyu' itu berat. Harus memiliki 2 hal, yaitu sabar dan sholat.
"Mintalah pertolongan dengan sabar dan sholat. Dan sesungguhnya ia sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu'" (Al-Baqoroh, 238)
Yang menarik dari ayat diatas adalah pemakaian kata tunggal, wainnaha bukan wainnahuma. Penggunaan bentuk tunggal ini berarti antara sabar dan shalat harus menyatu, tidak boleh dipisahkan. Orang yang sholat itu harus sabar dan orang sabar juga harus sholat. hanya orang yang khusyu' yang bisa begitu. Semoga kita masuk di dalamnya. Amin.

Kamis, 20 September 2012

Khutbah Jum'at ==> Sebarkan Kedamaian

Oleh. Iwan Hafidz Zaini *

Marilah kita senantiasa meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah Swt dengan menjalankan segala perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNya.

Hadirin jamaah Jum’ah yang dimulyakan Allah
Islam mengajarkan kita untuk senantiasa mengucapkan salam kepada semua orang, baik orang itu kita kenal maupun tidak kenal. Ucapan salam ini bisa berupa salam dalam versi Islam, yaitu Assalamu’alaikum ataupun dalam versi bahasa daerah misalnya Jawa dengan ucapan, ‘monggo’ atau ‘sugeng enjang, sugeng dalu’ dan lain sebagainya. Mengucapkan salam atau menyebarkan salam (ifsyaussalam) ini sangat luas sekali makna yang terkandung di dalamnya. Salam, berasal dari bahasa Arab yang berarti ‘kedamaian’. Mengucapkan salam berarti mengucapkan kata-kata damai. Atau ifsyaussalam berarti menyebarkan kedamaian. Inilah ajaran agama Islam, menyebarkan kedamaian. Sehingga dalam agama dikenal dengan sebutan Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin.

Hadirin jamaah Jum’ah Rahimakumullah
Akan tetapi, akhir-akhir ini kita banyak menyaksikan aksi maupun reaksi umat Islam yang tidak mengarah ke kedamaian. Malah cenderung merusak bahkan membunuh. Kejadian penembakan aparat kepolisian di Solo yang akhirnya diketahui pelaku adalah jaringan teroris lama yang menggunakan label agama dalam aksinya. Mereka menggunakan dalil jihad untuk melegitimasi aksi terornya. Juga reaksi yang berlebihan bahkan melampui batas dengan melempar batu ke aparat kepolisian yang dilakukan sekelompok organisasi keagamaan terhadap film yang menghina agama Islam, Innocence of Muslims. Bahkan di Syiria sampai terjadi peledakan yang menewaskan Kedubes AS .

Hadirin jamaah Jum’ah Rahimakumullah
Sebagaimana yang saya sebut diatas bahwa Islam adalah agama yang menganjurkan kedamaian. Hal ini dibuktikan dengan mengucapkan salam kepada orang yang dijumpai.
Lantas bagaimana langkah kita sebagai umat Islam yang rahmatan lil ‘alamin untuk senantiasa menjaga kedamaian ini?
Pertama, datangilah seseorang (berdakwah) dengan lemah lembut. Walaupun dia membenci kita. Allah Swt memerintahkan kepada Nabi Musa dan Nabi Harun As untuk tetap mendatangi dan berkata kepada Fir’aun dengan lemah lembut, bukan dengan kekerasan.


Artinya: “Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, Sesungguhnya Dia telah melampaui batas.  Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut". (Qs. Thoha. 43-44)

Kedua, apabila ada orang yang berbuat jahat kepada kita hendaknya kita menolak kejahatan dengan cara yang baik.


Artinya: “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara Dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai Keuntungan yang besar.” (QS. Fushhilat: 34-35)

Ada sebuah kisah teladan dari Nabi Muhammad yang perlu kita renungkan. Suatu hari, Nabi Muhammad SAW akan pergi ke masjid. Seperti biasanya, beliau pun selalu melewati jalan itu karena konon memang hanya itu jalan satu-satunya. Setiap melewati jalan itu, Nabi Muhammad SAW dihina, dicaci, diludahi, bahkan dilempari kotoran oleh seorang sahabat. Nabi Muhammad SAW berusaha bersabar dan bersabar. Bahkan, konon Malaikat Jibril muntap alias marah besar atas penghinaan sahabat itu kepada Nabi Muhammmad SAW. Maka, Malaikat Jibril merayu Nabi Muhammad SAW untuk membalas dendam. Namun, Nabi Muhammad SAW berkata, “Tak usah ya, Jibril. Sahabat itu belum mengenal Islam. Biarkanlah dia dengan perilakunya.” Dan terjadilah penghinaan it uterus-menerus.
Namun, hari itu sungguhlah teramat berbeda. Nabi Muhammad SAW tidak bertemu dengan sahabat yang biasa menghinanya. Tak terlihat sahabat itu duduk dan menunggu Nabi Muhammad SAW yang biasa lewat jalan itu. Tentu saja kondisi itu justru mengherankan Nabi Muhammad SAW. Maka, beliau pun berusaha mencari tahu tentang nasib sahabat. Maka, diketahuilah bahwa sahabat itu sedang sakit keras. Sahabat itu tidak bisa bangun dari tidurnya. Sehari-hari sahabat itu hanya meringkuk di tempat tidur.
Begitu mendengar kabar itu, Nabi Muhammad SAW pun segera bergegas pergi. Beliau pergi untuk menengok sahabat yang sedang sakit itu. Sama sekali beliau tidak menghiraukan pengalamannya yang dihina, dicemooh, dicaci, bahkan disakiti. Nabi Muhammad hanya berkeinginan untuk segera bertemu dengan sang sahabat. Nabi Muhammad SAW ingin mengetahui kondisi yang sebenarnya.
Setiba di depan pintu sang sahabat, Nabi Muhammad SAW segera mengetuk pintu. Tak lupa beliau berucap salam. Hanya suara lemah yang terdengar. Suara lemah yang menggambarkan bahwa orang yang membalas salam tersebut dalam keadaan sakit keras. Nyaris perasaan Nabi Muhammad SAW tak kuat lagi. Langsung saja pintu rumah dibukanya. Dan tiba-tiba Nabi Muhammad SAW terbelalak ketika melihat kondisi sang sahabat. Sahabat itu terkulai lemah di ranjangnya.
Ketika mengetahui orang yang menengoknya adalah Nabi Muhammad SAW, sahabat itu pucat pasi. Keringat dingin mengucur deras sebagai pertanda rasa ketakutan yang teramat sangat. Sahabat itu ketakutan karena disangkanya Nabi Muhammad SAW akan membalas dendam. Ya, Nabi Muhammad SAW dikira akan membalas dendam karena sahabat itu terlalu sering menyakitinya. Semakin Nabi Muhammad SAW mendekati dirinya, sahabat itu semakin pucat pasi.
Ketika sudah berada di sampingnya, tak disangka Nabi Muhammad SAW meletakkan tangan lembutnya di dahi. Lalu, tangan Nabi Muhammad SAW mengusap-usap tangan sahabat. Dengan suara lembut, Nabi Muhammad SAW bertanya tentang penyakit dan perasaan yang dirasakan sahabat.
Mendengar bahasa halus Nabi Muhammad SAW, sahabat itu bergidik gemetar. Perasaannya berkecamuk. Sahabat itu tak pernah menyangka bahwa Nabi Muhammad SAW memiliki watak yang sedemikian mulia. Sama sekali Nabi Muhammad SAW tidak menampakkan rasa dendamnya. Justru Nabi Muhammad SAW memerlihatkan kepribadiannya yang penyayang dan penyantun. Sungguh perilaku Nabi Muhammad SAW itu mengetuk hati sahabat. Tiba-tiba, sahabat itu mencium tangan Nabi Muhammad SAW. Dengan suara gemetar, sahabat itu berusaha berkata-kata.
“Wahai Muhammad. Ketika engkau akan beribadah, saya selalu mengganggumu. Saya selalu menyakitimu. Saya selalu berusaha agar kamu tidak dapat beribadah dengan segala caraku. Namun, semua usahaku ternyata gagal. Hari ini, saya sedang sakit. Tak seorang pun teman-temanku menengokku. Justru kamu adalah orang yang pertama menengokku. Sungguh hatimu teramat mulia. Maka, persaksikanlah wahai Muhammad, bahwa saya masuk Islam.”
Begitulah, orang yang dulu memusuhi Nabi, kemudian Beliau membalas kejahatannya dengan kebaikan akhirnya orang yang membenci tersebut menjadi sahabat setia Nabi dengan masuk Islam.
Ketiga, jika ada orang yang mengajak beradu argumen atau berdebat, maka berdebatlah dengan baik. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah:


Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Hadirin jamaah Jum’ah Rahimakumullah
Akhir kata, marilah kita sebagai umat Islam yang rahmatan lil ‘alamin senantiasa selalu menyebarkan semangat kedamaian kepada seluruh makhluk Allah.

*Penyuluh Agama Islam Fungsional Kemenag Kab. Boyolali di KUA Kec. Boyolali


Senin, 30 Juli 2012

TARHIM KECAMATAN BOYOLALI DAN PENTASHORUFAN DANA BAZ (Badan Amil Zakat)


Tadi malam, Selasa 30 Juli 2012 pemerintah Kecamatan Boyolali memulai kegiatan  Tarawih dan Silaturahim (tarhim) . Kegiatan Tarhim tadi malam dimulai di tiga kelurahan sekaligus, yaitu Kelurahan Pulisen, Kelurahan Banaran dan Kelurahan Siswodipuran dengan 3 tim dari kecamatan yang telah dibentuk Camat Boyolali sebelumnya. 



Kegiatan Tarhim ini adalah kegiatan rutin yang diselenggarakan kecamatan Boyolali bekerjasama dengan Badan Amil Zakat kecamatan Boyolali. Dalam kegiatan tarhim juga dibagikan bantuan dari dana BAZ  total  Rp. 5.600.000 untuk tiap kelurahan atau desa dan kecamatan Boyolali terdapat 9 (sembilan) kelurahan dan desa. Penerima dana bantuan BAZ ini terdiri dari anak yatim, KK miskin, modal usaha, ta’mir masjid dan guru TPA/TPQ.

Kamis, 12 Juli 2012

RAPAT KOORDINASI Badaan Amil Zakat (BAZ ) Kecamatan Boyolali

Pada hari Rabu, 11 Juli 2012 segenap peengurus BAZ Kecamatan Boyolali mengadakan Rapat Koordinasi di Warung Makan Omah Kampung, Pulisen Boyolali. Rapat yang dihadiri 20 pengurus tersebut berjalan lancar.

Dalam sambutannya, Camat Boyolali Choirudin Muhamad, S.Sos mengatakan bahwa bantuan dana BAZ harus tepat sasaran dan meminta instansi yang belum setor untuk rutin menyetorkan dana zakatnya. Perlu diketahui, bahwa dana BAZ ini adalah dana zakat dari gaji para Pegawai Negeri se-Kecamatan Boyolali setiap bulannya. Rapat Koordinasi kali ini membahas tentang laporan pemasukan dan pengeluaran dana BAZ dari bulan Januari sampai bulan Juli 2012.

Selain itu membahas tentang rencana anggaran pentashorufan dana BAZ pada tahun 2012. Dalam setiap bulan Ramadhan BAZ kecamatan memiliki program rutin yaitu pentashorufan dana kepada Anak Yatim, KK miskin, Guru TPA/TPQ, Ta’mir masjid, dan bantuan modal usaha.

Dalam pentashorufan Ramadhan ini BAZ disepakati mengeluarkan dana sebesar 50.400.000 yang dibagi kepada 9 kelurahan / desa se-kecamatan Boyolali. Per desa / kelurahan mendapatkan dana sebesar Rp. 5.600.000. Dana tersebut untuk anak yatim 5 orang (@Rp. 200.000), KK miskin 5 orang (@Rp.200.000), Modal Usaha 2 orang (@Rp.1.000.000), Ta’mir Masjid 4 orang (@Rp.200.000), guru TPA/TPQ 4 orang (@Rp. 200.000). Rapat dimulai pukul 09.30 WIB dan berakhir pada pukul 11.30 WIB. (ihz)

Minggu, 22 April 2012

Manasik Haji Kecamatan Boyolali





Pembawa acara atau moderator Saifudin Zuhri, S.Ag












Peserta Manasik haji hari, Jum'at 20 April 2012










Bapak narasumber yang juga Kasie Haji Kantor Kementerian Agama Kab. Boyolali Drs. H. Mualim, M.Pd.I menyampaikan materi

Minggu, 15 April 2012

Pembukaan Manasik Haji Kecamatan Boyolali 2012 M / 1433 H





Pembawa acara saudari Widyawati Khoiriyah, S.Ag










Bapak Plt. Kankemenag Kab. Boyolali Drs. H. Mustari, M.PdI memberikan pengajian Haji








Bapak Camat Kecamatan Boyolali Choiruddin Muhammad, S.Sos membuka acara Manasik Haji







Bpk. Kepala KUA Kecamatan Boyolali. H. Kusaeni, S.PdI memberikan sambutan sebagai Ketua Pelaksana Manasik Haji Kecamatan Boyolali







Saudara Makinul Faizin membacakan ayat-ayat suci Al-Qur'an sebelum acara dibuka







Peserta manasik Haji 2012 Kec. Boyolali Kab. Boyolali

Sabtu, 11 Februari 2012

Sisi Lain Bersyukur


Oleh: Iwan Hafidz Zaini, S.HI

Sudah bersyukurkah anda hari ini? Saya tanya! Mungkin ada yang menjawab, “Syukur? Kenapa? Wong saya hari ini biasa-biasa saja. Ndak ada yang istimewa.” Ada juga yang menjawab, “Sudah” ya baguslah kalau begitu. Kalau yang menjawab seperti jawaban pertama tadi kemungkinan beranggapan bahwa bersyukur adalah setelah menerima nikmat. Kalau tidak menerima ngapain bersyukur? Semoga anda bukan termasuk yang ini, yach. Yen tak pikir-pikir (niru logat alm. Mas Basuki), setiap hari kita mendapat kenikmatan. Coba lihat, anda mempunyai lemari es, mempunyai buku tabungan (walau saldonya bulan depan habis karena terpotong biaya administrasi. Hehehe), mempunyai pekerjaan tetap (tetap itu-itu aja pekerjaannya.hehe), bisa menjalankan kegiatan ibadah tanpa takut terhujani peluru atau rudal dari pasukan NATO, bisa membaca tulisan saya ini, bukankah itu kenikmatan yang saban hari kita rasakan? Kenapa tidak bersyukur? Why? Lupa? Padahal Tuhan tak pernah lupa memberi kenikmatan kepada kita?

Kalau anda rajin sholat, saya yakin anda termasuk orang yang bersyukur dengan ucapan dan tindakan. Kok bisa sholat merupakan syukur dengan ucapan? Sebab, setiap kita sholat wajib membaca al-Fatihah dan Surat Al-Fatihah didahului dengan lafadz “Alhamdulillah” (setelah membaca bismillah tentunya).

Lalu, apakah benar bersyukur itu setelah kita menerima nikmat? Atau sebelum menerima nikmat kita bersyukur? Saya tidak tahu mana yang benar. Yang jelas, kalau kita cermati tadi bahwa al-Qur’an yang dimulai dengan surat al-Fatehah menggunakan lafadz “Alhamdulillah” sebagai pembuka (tentunya setelah menyebut asma Tuhan Yang Maha Kasih dan Sayang). Begitu juga dalam berdoa, kita baca lafadz “Alhamdulillah” dulu baru berdoa alias bersyukur dulu baru meminta. Tapi, kebanyakan dari kita, meminta dulu, dikabulkan, baru bersyukur. Tak apa. Yang penting masih bersyukur.

Dalam al-Qur’an Allah mengingatkan kita supaya bersyukur, jangan kufur (menginkari nikmat). Begitu juga Nabi Muhammad Saw dalam berdoa selalu memohon kepada Allah supaya dijadikan ‘abdan syakura. Hamba yang bersyukur. Klop, pas, cocok. Allah memerintah untuk bersyukur dan Nabi mencontohkan dalam do’a supaya dijadikan hamba yang bersyukur.

Lalu apakah ada implikasi atau pengaruh bersyukur terhadap jiwa kita, pekerjaan kita, karir kita, kesuksesan kita? ADA. Dengan huruf besar semua biar mantab. Mau bukti? Mungkin anda pernah mendengar tentang Kristal air. Yups, air mempunyai Kristal-kristal kecil yang bias berubah bentuk mengikuti kata-kata yang dilontarkan manusia. Dalam buku The Hidden Messages in Water dituliskan bahwa air seolah-olah mengerti bahasa manusia. Dan tahukah anda kapan Kristal air memperagakan bentuknya yang paling apik, yahut dan menarik? Ternyata apabila dikumandangkan kata ‘syukur’ dan ‘cinta’ dalam bahasa apapun. Termasuk bahasa hewan jika anda paham dan bisa. Hehehe.

Lalu pengaruhnya terhadap keseharian kita? Air. Ada apa dengan air? Untung saja zodiak saya adalah pembawa air alias aquarius. Bukan penjual air keliling lho. Jadi, apa yang saya bawa tergantung anda yang menerima. Kalau anda menerima dengan syukur maka akan terbentuk Kristal-kristal air yang menakjubkan. Tapi, jika anda sinis, marah-marah, maka anda akan membentuk Kristal air yang tak beraturan dan jelek, buruk mirip wajah anda. Hahaha. Bercanda. Mulai serius. Air. Semua kehidupan bermula dari air. Manusia berasal dari percampuran air. Alam semesta berasal dari air. Dan yang terpenting, 70 persen tubuh manusia terdiri atas air! SO, Setiap kali kita menyebut kata ‘syukur’ atau menyimpan rasa syukur, maka kita juga membentuk Kristal-kristal air cantik dalam tubuh kita sehingga menimbulkan energi positif yang sangat kita butuhkan untuk menggapai kesuksesan.

Jadi, bisa dikatakan kalau pingin sukses, rajin-rajin bersyukur. Syukur adalah gerbang menuju sukses. Kok bisa? Ya bisa. Bukti konkritnya adalah Nabi Muhammad. Seorang yang pandai bersyukur akhirnya sukses menjadi seorang nabi dengan pengikut terbanyak dan kata-katanya masih dihapal oleh umatnya. Dalam bahasa Indonesia kata ‘syukur’ berarti berterima kasih. Sebagai hamba Tuhan kita berterima kasih kepadaNya. Sebagai makhluk sosial kita berterima kasih kepada manusia yang berbuat baik dan berbaik hati kepada kita. Rumusnya ==> jika pingin sukses jangan sungkan-sungkan mengucapkan terima kasih. Membalas sesuatu kebaikan dengan ucapan ‘terima kasih’ itu berdampak sangat besar untuk kehidupan kita. Coba jika kita telah berbuat baik kepada orang tapi dia tidak mengucap ‘terima kasih’ pasti tuk berikutnya kita akan malas membantu. Betul?



Saking dahsyatnya kata ‘terima kasih’ ini, kasir-kasir di supermarket dan mall-mall dituntut untuk mengucapkan kata ‘terima kasih’ kepada konsumennya. Sampai-sampai ada yang berani membayar ratusan ribu rupiah jika kasir tidak mengucapkan kata ‘terima kasih’. Entah setelah itu kasir dipecat. Hehe. Sebab mereka, pelaku bisnis, tahu bahwa ucapan terima kasih berdampak besar terhadap omzetnya. So, jika kita pingin sukses dan memperbesar karir atau pekerjaan kita. Jangan sungkan-sungkan mengucapkan ‘terima kasih’. Setelah itu, pasti akan ada dampak yang besar. Sebab, Tuhan berfirman, “Jika kamu bersyukur (mengucapkan terima kasih) , maka akan Aku tambahi (nikmat)”. Saya sering melihat supporter Persikmania (Persik Kediri) ketika berada di Stadion Manahan. Mereka sebelum dan sesudah pertandingan menyanyikan “Terima kasih Pasoepati. Kita adalah saudara” dan pertandingan berjalan sukses tanpa kerusuhan.

Itulah, dahsyatnya berterima kasih. Berterima kasih kepada manusia berdampak luar biasa, apalagi berterima kasih kepada Allah, Sang Pencipta Alam.

Wallahu a'lam bishowab

*penulis adalah Penyuluh Agama Islam Kantor Kementerian Agama Kab. Boyolali

Pelaksanaan Wakaf Benda Tidak Bergerak

Benda tidak bergerak yang dapat diwakafkan yaitu:

- Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan peundang-undangan yang berlaku, baik yang sudah maupun yang belum terdaftar.
- Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah
- Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah
- Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(Pasal 16 ayat 2, UU No. 41 tahun 2004)

Tata cara perwakafan tanah milik secara berurutan dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Perorangan atau badan hukum yang mewakafkan tanah hak miliknya (sebagai calon wakif) diharuskan datang sendiri di hadapan PPAIW untuk melaksanakan Ikrar Wakaf
2. Calon wakif sebelum mengikrarkan wakaf, terlebih dahulu menyerahkan kepada PPAIW, surat-surat
sebagai berikut :

a. Sertifikat hak milik atau tanda bukti kepemilikan tanah;
b. Surat Keterangan Kepala Desa diperkuat oleh Camat setempat mengenai kebenaran pemilikan tanah dan tidak dalam sengketa;
c. Surat Keterangan pendaftaran tanah;
d. Ijin Bupati/Walikotamadya c.q. Sub Direktorat Agraria setempat, hal ini terutama dalam rangka tata kota atau master plan city.

3. PPAIW meneliiti surat-surat dan syarat-syarat, apakah sudah memenuhi untuk pelepasan hak atas tanah (untuk diwakafkan), meneliti saksi-saksi dan mengesahkan susunan nadzir.

4. Dihadapan PPAIW dan dua orang saksi, wakif mengikrarkan atau mengucapkan kehendak wakaf itu kepada nadzir yang telah disahkan.

Ikrar wakaf tersebut diucapkan dengan jelas, tegas dan dituangkan dalam bentuk tertulis (ikrar wakaf bentuk W.1). Sedangkan bagi yang tidak bisa mengucapkan (misalnya bisu) maka dapat menyatakan kehendaknya dengan suatu isyarat dan kemudian mengisi blanko dengan bentuk W.1.

Apabila wakif itu sendiri tidak dapat menghadap Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW), maka wakif dapat membuat ikrar secara tertulis dengan persetujuan dari Kandepag yang mewilayahi tanah wakaf dan kemudian surat atau naskah tersebut dibacakan dihadapan nadzir setelah mendapat persetujuan dari Kandepag dan semua yang hadir dalam upacara ikrar wakaf tersebut ikut menandatangani Ikrar Wakaf (bentuk W.1).

5. PPAIW segera membuat Akta Ikrar Wakaf (bentuk W.2) rangjkap empat dengan dibubuhi materi menurut ketentuan yang berlaku dan selanjutnya, selambat-lambatnya satu bulan dibuat ikrar wakaf, tiap-tiap lembar harus telah dikirim dengan pengaturan pendistribusiannya sebagai berikut:

a. Akta Ikrar Wakaf :

1) Lembar pertama disimpan PPAIW
2) Lembar kedua sebagai lampiran surat permohonan pendaftaran tanah wakaf ke kantor Subdit Agraria setempat (W.7)
3) Lembar ketiga untuk Pengadilan Agama setempat

b. Salinan Akta Ikrar Wakaf :

1) Lembar pertama untuk wakif
2) lembar kedua untuk nadzir
3) lembar ketiga untuk Kandep. Agama Kabupatan/Kotamadya
4) lembar keempat untuk Kepala Desa setempat.

Disamping telah membuat Akta, PPAIW mencatat dalam Daftar Akta Ikrar Wakaf (bentuk W.4) dan menyimpannya bersama aktanya dengan baik.

Sejarah dan Perkembangan Wakaf

Masa Rasulullah

Dalam sejarah Islam, Wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW karena wakaf disyariatkan setelah nabi SAW Madinah, pada tahun kedua Hijriyah. Ada dua pendapat yang berkembang di kalangan ahli yurisprudensi Islam (fuqaha’) tentang siapa yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf. Menurut sebagian pendapat ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah Rasulullah SAW ialah wakaf tanah milik Nabi SAW untuk dibangun masjid.

Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Syabah dari ‘Amr bin Sa’ad bin Mu’ad, ia berkata: Dan diriwayatkan dari Umar bin Syabah, dari Umar bin Sa’ad bin Muad berkata: “Kami bertanya tentang mula-mula wakaf dalam Islam? Orang Muhajirin mengatakan adalah wakaf Umar, sedangkan orang-orang Ansor mengatakan adalah wakaf Rasulullah SAW." (Asy-Syaukani: 129).

Rasulullah SAW pada tahun ketiga Hijriyah pernah mewakafkan ketujuh kebun kurma di Madinah; diantaranya ialah kebon A’raf, Shafiyah, Dalal, Barqah dan kebon lainnya. Menurut pendapat sebagian ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan Syariat Wakaf adalah Umar bin Khatab. Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar ra, ia berkata:

Dari Ibnu Umar ra, berkata : “Bahwa sahabat Umar ra, memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar ra, menghadap Rasulullah SAW untuk meminta petunjuk, Umar berkata : “Hai Rasulullah SAW., saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapat harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah SAW. bersabda: “Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya), tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan. Ibnu Umar berkata: “Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-rang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, Ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta” (HR.Muslim).

Kemudian syariat wakaf yang telah dilakukan oleh Umar bin Khatab dususul oleh Abu Thalhah yang mewakafkan kebun kesayangannya, kebun “Bairaha”. Selanjutnya disusul oleh sahabat Nabi SAW. lainnya, seperti Abu Bakar yang mewakafkan sebidang tanahnya di Mekkah yang diperuntukkan kepada anak keturunannya yang datang ke Mekkah. Utsman menyedekahkan hartanya di Khaibar. Ali bin Abi Thalib mewakafkan tanahnya yang subur. Mu’ads bin Jabal mewakafkan rumahnya, yang populer dengan sebutan “Dar Al-Anshar”. Kemudian pelaksanaan wakaf disusul oleh Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam dan Aisyah Isri Rasulullah SAW.

Masa Dinasti-Dinasti Islam

Praktek wakaf menjadi lebih luas pada masa dinasti Umayah dan dinasti Abbasiyah, semua orang berduyun-duyun untuk melaksanakan wakaf, dan wakaf tidak hanya untuk orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar gaji para statnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa. Antusiasme masyarakat kepada pelaksanaan wakaf telah menarik perhatian negara untuk mengatur pengelolaan wakaf sebagai sektor untuk membangun solidaritas sosial dan ekonomi masyarakat.

Wakaf pada mulanya hanyalah keinginan seseorang yang ingin berbuat baik dengan kekayaan yang dimilikinya dan dikelola secara individu tanpa ada aturan yang pasti. Namun setelah masyarakatIslam merasakan betapa manfaatnya lembaga wakaf, maka timbullah keinginan untuk mengatur perwakafan dengan baik. Kemudian dibentuk lembaga yang mengatur wakaf untuk mengelola, memelihara dan menggunakan harta wakaf, baik secara umum seperti masjid atau secara individu atau keluarga.

Pada masa dinasti Umayyah yang menjadi hakim Mesir adalah Taubah bin Ghar Al-Hadhramiy pada masa khalifah Hisyam bin Abd. Malik. Ia sangat perhatian dan tertarik dengan pengembangan wakaf sehingga terbentuk lembaga wakaf tersendiri sebagaimana lembaga lainnya dibawah pengawasan hakim. Lembaga wakaf inilah yang pertama kali dilakukan dalam administrasi wakaf di Mesir, bahkan diseluruh negara Islam. Pada saat itu juga, Hakim Taubah mendirikan lembaga wakaf di Basrah. Sejak itulah pengelolaan lembaga wakaf di bawah Departemen Kehakiman yang dikelola dengan baik dan hasilnya disalurkan kepada yang berhak dan yang membutuhkan.

Pada masa dinasti Abbasiyah terdapat lembaga wakaf yang disebut dengan “shadr al-Wuquuf” yang mengurus administrasi dan memilih staf pengelola lembaga wakaf. Demikian perkembangan wakaf pada masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah yang manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat, sehingga lembaga wakaf berkembang searah dengan pengaturan administrasinya.

Pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir perkembangan wakaf cukup menggembirakan, dimana hampir semua tanah-tanah pertanian menjadi harta wakaf dan semua dikelola oleh negara dan menjadi milik negara (baitul mal). Ketika Shalahuddin Al-Ayyuby memerintah Mesir, maka ia bermaksud mewakafkan tanah-tanah milik negara diserahkan kepada yayasan keagamaan dan yayasan sosial sebagaimana yang dilakukan oleh dinasti Fathimiyah sebelumnnya, meskipun secara fiqh Islam hukum mewakafkan harta baitulmal masih berbeda pendapat di antara para ulama.

Pertama kali orang yang mewakafkan tanah milik nagara (baitul mal) kepada yayasan dan sosial adalah Raja Nuruddin Asy-Skyahid dengan ketegasan fatwa yang dekeluarkan oleh seorang ulama pada masa itu ialah Ibnu “Ishrun dan didukung oleh pada ulama lainnya bahwa mewakafkan harta milik negara hukumnya boleh (jawaz), dengan argumentasi (dalil) memelihara dan menjaga kekayaan negara. Sebab harta yang menjadi milik negara pada dasarnya tidak boleh diwakafkan. Shalahuddin Al-Ayyubi banyak mewakafkan lahan milik negara untuk kegiatan pendidikan, seperti mewakafkan beberapa desa (qaryah) untuk pengembangan madrasah mazhab asy-Syafi’iyah, madrasah al-Malikiyah dan madrasah mazhab al-Hanafiyah dengan dana melalui model mewakafkan kebun dan lahan pertanian, seperti pembangunan madrasah mazhab Syafi’iy di samping kuburan Imam Syafi’I dengan cara mewakafkan kebun pertanian dan pulau al-Fil.

Dalam rangka mensejahterakan ulama dan kepentingan misi mazhab Sunni Shalahuddin al-Ayyuby menetapkan kebijakan (1178 M/572 H) bahwa bagi orang Kristen yang datang dari Iskandar untuk berdagang wajib membayar bea cukai. Hasilnya dikumpulkan dan diwakafkan kepada para ahli yurisprudensi (fuqahaa’) dan para keturunannya. Wakaf telah menjadi sarana bagi dinasti al-Ayyubiyah untuk kepentingan politiknya dan misi alirannya ialah mazhab Sunni dan mempertahankan kekuasaannya. Dimana harta milik negara (baitul mal) menjadi modal untuk diwakafkan demi pengembangan mazhab Sunni dan menggusus mazhab Syi’ah yang dibawa oleh dinasti sebelumnya, ialah dinasti Fathimiyah.

Perkembangan wakaf pada masa dinasti Mamluk sangat pesat dan beraneka ragam, sehingga apapun yang dapat diambil manfaatnya boleh diwakafkan. Akan tetapi paling banyak yang diwakafkan pada masa itu adalah tanah pertanian dan bangunan, seperti gedung perkantoran, penginapan dan tempat belajar. Pada masa Mamluk terdapat wakaf hamba sahaya yang di wakafkan budak untuk memelihara masjid dan madrasah. Hal ini dilakukan pertama kali oleh pengusa dinasti Ustmani ketika menaklukan Mesir, Sulaiman Basya yang mewakafkan budaknya untuk merawat mesjid.

Manfaat wakaf pada masa dinasti Mamluk digunakan sebagaimana tujuan wakaf, seperti wakaf keluarga untuk kepentingan keluarga, wakaf umum untuk kepentingan sosial, membangun tempat untuk memandikan mayat dan untuk membantu orang-orang fakir dan miskin. Yang lebih membawa syiar islam adalah wakaf untuk sarana Harmain, ialah Mekkah dan Madinah, seperti kain ka’bah (kiswatul ka’bah). Sebagaimana yang dilakukan oleh Raja Shaleh bin al-Nasir yang membrli desa Bisus lalu diwakafkan untuk membiayai kiswah Ka’bah setiap tahunnya dan mengganti kain kuburan Nabi SAW dan mimbarnya setiap lima tahun sekali.

Perkembangan berikutnya yang dirasa manfaat wakaf telah menjadi tulang punggung dalam roda ekonomi pada masa dinasti Mamluk mendapat perhatian khusus pada masa itu meski tidak diketahui secara pasti awal mula disahkannya undang-undang wakaf. Namun menurut berita dan berkas yang terhimpun bahwa perundang-undangan wakaf pada dinasti Mamluk dimulai sejak Raja al-Dzahir Bibers al-Bandaq (1260-1277 M/658-676) H) di mana dengan undang-undang tersebut Raja al-Dzahir memilih hakim dari masing-masing empat mazhab Sunni.

Pada orde al-Dzahir Bibers perwakafan dapat dibagi menjadi tiga katagori: Pendapat negara hasil wakaf yang diberikan oleh penguasa kepada orang-orang yanbg dianggap berjasa, wakaf untuk membantu haramain (fasilitas Mekkah dan Madinah) dan kepentingan masyarakat umum. Sejak abad lima belas, kerajaan Turki Utsmani dapat memperluas wilayah kekuasaannya, sehingga Turki dapat menguasai sebagian besar wilayah negara Arab. Kekuasaan politik yang diraih oleh dinasti Utsmani secara otomatis mempermudah untuk merapkan Syari’at Islam, diantaranya ialah peraturan tentang perwakafan.

Di antara undang-undang yang dikeluarkan pada dinasti Utsmani ialah peraturan tentang pembukuan pelaksanaan wakaf, yang dikeluarkan pada tanggal 19 Jumadil Akhir tahun 1280 Hijriyah. Undang-undang tersebut mengatur tentang pencatatan wakaf, sertifikasi wakaf, cara pengelolaan wakaf, upaya mencapai tujuan wakaf dan melembagakan wakaf dalam upaya realisasi wakaf dari sisi administrasi dan perundang-udangan.

Pada tahun 1287 Hijriyah dikeluarkan undang-undang yang menjelaskan tentang kedudukan tanah-tanah kekuasaan Turki Utsmani dan tanah-tanah produktif yang berstatus wakaf. Dari implementasi undang-undang tersebut di negara-negara Arab masih banyak tanah yang berstatus wakaf dan diperaktekkan sampai saat sekarang. Sejak masa Rasulullah, masa kekhalifahan dan masa dinasti-dinasti Islam sampai sekarang wakaf masih dilaksanakan dari waktu ke waktu di seluruh negeri muslim, termasuk di Indonesia.

Hal ini terlihat dari kenyataan bahwa lembaga wakaf yang berasal dari agama Islam ini telah diterima (diresepsi) menjadi hukum adat bangsa Indonesia sendiri. Disamping itu suatu kenyataan pula bahwa di Indonesia terdapat banyak benda wakaf, baik wakaf benda bergerak atau benda tak bergerak. Kalau kita perhatikan di negara-negara muslim lain, wakaf mendapat perhatian yang cukup sehingga wakaf menjadi amal sosial yang mampu memberikan manfaat kepada masyarakat banyak.

Dalam perjalanan sejarah wakaf terus berkembang dan akan selalu berkembang bersamaan dengan laju perubahan jaman dengan berbagai inovasi-inovasi yang relevan, seperti bentuk wakaf uang, wakaf Hak Kekayaan Intelektual (Haki), dan lain-lain. Di Indonesia sendiri, saat ini wakaf kian mendapat perhatian yang cukup serius dengan diterbitkannya Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf dan PP No. 42 tahun 2006 tentang pelaksanaannya.

WAKAF

Secara etimologi, wakaf berasal dari perkataan Arab “Waqf” yang bererti “al-Habs”. Ia merupakan kata yang berbentuk masdar (infinitive noun) yang pada dasarnya berarti menahan, berhenti, atau diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah, binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu (Ibnu Manzhur: 9/359).

Sebagai satu istilah dalam syariah Islam, wakaf diartikan sebagai penahanan hak milik atas materi benda (al-‘ain) untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya (al-manfa‘ah) (al-Jurjani: 328). Sedangkan dalam buku-buku fiqh, para ulama berbeda pendapat dalam memberi pengertian wakaf. Perbedaan tersebut membawa akibat yang berbeda pada hukum yang ditimbulkan. Definisi wakaf menurut ahli fiqh adalah sebagai berikut.

Pertama, Hanafiyah mengartikan wakaf sebagai menahan materi benda (al-‘ain) milik Wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan (Ibnu al-Humam: 6/203). Definisi wakaf tersebut menjelaskan bahawa kedudukan harta wakaf masih tetap tertahan atau terhenti di tangan Wakif itu sendiri. Dengan artian, Wakif masih menjadi pemilik harta yang diwakafkannya, manakala perwakafan hanya terjadi ke atas manfaat harta tersebut, bukan termasuk asset hartanya.

Kedua, Malikiyah berpendapat, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki (walaupun pemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad (shighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan Wakif (al-Dasuqi: 2/187). Definisi wakaf tersebut hanya menentukan pemberian wakaf kepada orang atau tempat yang berhak saja.

Ketiga, Syafi‘iyah mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh Wakif untuk diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh syariah (al-Syarbini: 2/376). Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan artian harta yang tidak mudah rusak atau musnah serta dapat diambil manfaatnya secara berterusan (al-Syairazi: 1/575).

Keempat, Hanabilah mendefinisikan wakaf dengan bahasa yang sederhana, yaitu menahan asal harta (tanah) dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan (Ibnu Qudamah: 6/185). Itu menurut para ulama ahli fiqih. Bagaimana menurut undang-undang di Indonesia? Dalam Undang-undang nomor 41 tahun 2004, wakaf diartikan dengan perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.

Dari beberapa definisi wakaf tersebut, dapat disimpulkan bahwa wakaf bertujuan untuk memberikan manfaat atau faedah harta yang diwakafkan kepada orang yang berhak dan dipergunakan sesuai dengan ajaran syariah Islam. Hal ini sesuai dengan fungsi wakaf yang disebutkan pasal 5 UU no. 41 tahun 2004 yang menyatakan wakaf berfungsi untuk mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.

Rukun Wakaf

Rukun Wakaf Ada empat rukun yang mesti dipenuhi dalam berwakaf. Pertama, orang yang berwakaf (al-waqif). Kedua, benda yang diwakafkan (al-mauquf). Ketiga, orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf ‘alaihi). Keempat, lafadz atau ikrar wakaf (sighah).

Syarat-Syarat Wakaf

1. Syarat-syarat orang yang berwakaf (al-waqif)Syarat-syarat al-waqif ada empat, pertama orang yang berwakaf ini mestilah memiliki secara penuh harta itu, artinya dia merdeka untuk mewakafkan harta itu kepada sesiapa yang ia kehendaki. Kedua dia mestilah orang yang berakal, tak sah wakaf orang bodoh, orang gila, atau orang yang sedang mabuk. Ketiga dia mestilah baligh. Dan keempat dia mestilah orang yang mampu bertindak secara hukum (rasyid). Implikasinya orang bodoh, orang yang sedang muflis dan orang lemah ingatan tidak sah mewakafkan hartanya.

2. Syarat-syarat harta yang diwakafkan (al-mauquf)Harta yang diwakafkan itu tidak sah dipindahmilikkan, kecuali apabila ia memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan oleh ah; pertama barang yang diwakafkan itu mestilah barang yang berharga Kedua, harta yang diwakafkan itu mestilah diketahui kadarnya. Jadi apabila harta itu tidak diketahui jumlahnya (majhul), maka pengalihan milik pada ketika itu tidak sah. Ketiga, harta yang diwakafkan itu pasti dimiliki oleh orang yang berwakaf (wakif). Keempat, harta itu mestilah berdiri sendiri, tidak melekat kepada harta lain (mufarrazan) atau disebut juga dengan istilah (ghaira shai’).

3. Syarat-syarat orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf alaih) Dari segi klasifikasinya orang yang menerima wakaf ini ada dua macam, pertama tertentu (mu’ayyan) dan tidak tertentu (ghaira mu’ayyan). Yang dimasudkan dengan tertentu ialah, jelas orang yang menerima wakaf itu, apakah seorang, dua orang atau satu kumpulan yang semuanya tertentu dan tidak boleh dirubah. Sedangkan yang tidak tentu maksudnya tempat berwakaf itu tidak ditentukan secara terperinci, umpamanya seseorang sesorang untuk orang fakir, miskin, tempat ibadah, dll. Persyaratan bagi orang yang menerima wakaf tertentu ini (al-mawquf mu’ayyan) bahwa ia mestilah orang yang boleh untuk memiliki harta (ahlan li al-tamlik), Maka orang muslim, merdeka dan kafir zimmi yang memenuhi syarat ini boleh memiliki harta wakaf. Adapun orang bodoh, hamba sahaya, dan orang gila tidak sah menerima wakaf. Syarat-syarat yang berkaitan dengan ghaira mu’ayyan; pertama ialah bahwa yang akan menerima wakaf itu mestilah dapat menjadikan wakaf itu untuk kebaikan yang dengannya dapat mendekatkan diri kepada Allah. Dan wakaf ini hanya ditujukan untuk kepentingan Islam saja.

4. Syarat-syarat Shigah Berkaitan dengan isi ucapan (sighah) perlu ada beberapa syarat. Pertama, ucapan itu mestilah mengandungi kata-kata yang menunjukKan kekalnya (ta’bid). Tidak sah wakaf kalau ucapan dengan batas waktu tertentu. Kedua, ucapan itu dapat direalisasikan segera (tanjiz), tanpa disangkutkan atau digantungkan kepada syarat tertentu. Ketiga, ucapan itu bersifat pasti. Keempat, ucapan itu tidak diikuti oleh syarat yang membatalkan. Apabila semua persyaratan diatas dapat terpenuhi maka penguasaan atas tanah wakaf bagi penerima wakaf adalah sah. Pewakaf tidak dapat lagi menarik balik pemilikan harta itu telah berpindah kepada Allah dan penguasaan harta tersebut adalah orang yang menerima wakaf secara umum ia dianggap pemiliknya tapi bersifat ghaira tammah.


Dasar Hukum Wakaf

Menurut Al-Quran

Secara umum tidak terdapat ayat al-Quran yang menerangkan konsep wakaf secara jelas. Oleh karena wakaf termasuk infaq fi sabilillah, maka dasar yang digunakan para ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah. Di antara ayat-ayat tersebut antara lain:

Hai orang-orang yang beriman! Nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usaha kamu yang baik-baik, dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (Q.S. al-Baqarah (2): 267)

Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian dari apa yang kamu cintai.” (Q.S. Ali Imran (3): 92)


Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir. Pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi sesiapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. al-Baqarah (2): 261)

Ayat-ayat tersebut di atas menjelaskan tentang anjuran untuk menginfakkan harta yang diperoleh untuk mendapatkan pahala dan kebaikan. Di samping itu, ayat 261 surat al-Baqarah telah menyebutkan pahala yang berlipat ganda yang akan diperoleh orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah.

Menurut Hadis

Di antara hadis yang menjadi dasar dan dalil wakaf adalah hadis yang menceritakan tentang kisah Umar bin al-Khaththab ketika memperoleh tanah di Khaibar. Setelah ia meminta petunjuk Nabi tentang tanah tersebut, Nabi menganjurkan untuk menahan asal tanah dan menyedekahkan hasilnya.

Hadis tentang hal ini secara lengkap adalah; “Umar memperoleh tanah di Khaibar, lalu dia bertanya kepada Nabi dengan berkata; Wahai Rasulullah, saya telah memperoleh tanah di Khaibar yang nilainya tinggi dan tidak pernah saya peroleh yang lebih tinggi nilainya dari padanya. Apa yang baginda perintahkan kepada saya untuk melakukannya? Sabda Rasulullah: “Kalau kamu mau, tahan sumbernya dan sedekahkan manfaat atau faedahnya.” Lalu Umar menyedekahkannya, ia tidak boleh dijual, diberikan, atau dijadikan wariskan. Umar menyedekahkan kepada fakir miskin, untuk keluarga, untuk memerdekakan budak, untuk orang yang berperang di jalan Allah, orang musafir dan para tamu. Bagaimanapun ia boleh digunakan dengan cara yang sesuai oleh pihak yang mengurusnya, seperti memakan atau memberi makan kawan tanpa menjadikannya sebagai sumber pendapatan.”

Hadis lain yang menjelaskan wakaf adalah hadis yang diceritakan oleh imam Muslim dari Abu Hurairah. Nas hadis tersebut adalah; “Apabila seorang manusia itu meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya kecuali dari tiga sumber, yaitu sedekah jariah (wakaf), ilmu pengetahuan yang bisa diambil manfaatnya, dan anak soleh yang mendoakannya.”

Selain dasar dari al-Quran dan Hadis di atas, para ulama sepakat (ijma’) menerima wakaf sebagai satu amal jariah yang disyariatkan dalam Islam. Tidak ada orang yang dapat menafikan dan menolak amalan wakaf dalam Islam karena wakaf telah menjadi amalan yang senantiasa dijalankan dan diamalkan oleh para sahabat Nabi dan kaum Muslimim sejak masa awal Islam hingga sekarang.

Dalam konteks negara Indonesia, amalan wakaf sudah dilaksanakan oleh masyarakat Muslim Indonesia sejak sebelum merdeka. Oleh karena itu pihak pemerintah telah menetapkan Undang-undang khusus yang mengatur tentang perwakafan di Indonesia, yaitu Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Untuk melengkapi Undang-undang tersebut, pemerintah juga telah menetapkan Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang nomor 41 tahun 2004.

Jumat, 10 Februari 2012

Mensikapi Hari Valentine


Oleh. Iwan Hafidz Zaini, S.HI

Pada bulan Februari ini, umat Islam memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada hari Ahad 5 Februari 2012. Dan pada hari itu di Indonesia dijadikan hari libur nasional. Akan tetapi di bulan Februari ini ada hari yang setiap tahunnya dirayakan oleh umat manusia terlebih-lebih para remaja, yaitu hari Valentine yang jatuh pada tanggal 14 Februari setiap tahunnya dan banyak diyakini bahwa pada tanggal 14 Februari adalah hari kematian orang suci umat Nasrani, Santo Valentinus.


Walaupun setiap tanggal 14 Februari tidak dijadikan hari libur, namun masyarakat dunia termasuk Indonesia menjadikan tanggal 14 Februari sebagai hari/tanggal yang spesial bagi diri mereka sendiri, teman, sahabat, kekasih, maupun keluarga untuk menyatakan kasih sayang mereka. Wujud dari ungkapan tersebut mereka aktualisasikan dalam bentuk pemberian barang. Kebanyakan mereka saling memberikan coklat. Hari Valentine atau Valentine's Day -versi aslinya- yang jatuh setiap tanggal 14 Februari adalah sebuah hari di mana para kekasih dan mereka yang sedang jatuh cinta menyatakan cintanya di Dunia Barat. Tradisi pemberian barang di hari valentine berasal dari Amerika Serikat pada paruh kedua abad ke-20, biasanya oleh pria kepada wanita. Hadiah-hadiahnya biasa berupa bunga mawar dan cokelat.


Memang kasih sayang terhadap sesama itu dianjurkan, tidak hanya dalam agama Islam, tapi semua agama pasti menganjurkan kasih sayang. Akan tetapi yang menjadi kekhawatiran dari penganut-penganut agama (yang taat) adalah penyalahgunaan dari kasih sayang tersebut dengan menginterpretasikan kasih sayang dengan hal-hal yang menjerumus ke sex bebas (free sex).


Lalu, ada apa sebenarnya dengan tanggal 14 Februari? Ada banyak versi tentang asal dari perayaan Hari Valentine ini. Yang paling populer memang kisah dari Santo Valentinus yang diyakini hidup pada masa Kaisar Claudius II yang kemudian menemui ajal pada tanggal 14 Februari 269 M. Namun ini pun ada beberapa versi. Yang jelas dan tidak memiliki silang pendapat adalah kalau kita menelisik lebih jauh lagi ke dalam tradisi paganisme (dewa-dewi) Romawi Kuno, sesuatu yang dipenuhi dengan legenda, mitos, dan penyembahan berhala.


Menurut pandangan tradisi Roma Kuno, pertengahan bulan Februari memang sudah dikenal sebagai periode cinta dan kesuburan. Dalam tarikh kalender Athena kuno, periode antara pertengahan Januari dengan pertengahan Februari disebut sebagai bulan Gamelion, yang dipersembahkan kepada pernikahan suci Dewa Zeus dan Hera.


Ketika agama Kristen Katolik masuk Roma, mereka mengadopsi upacara paganisme (berhala) ini dan mewarnainya dengan nuansa Kristiani. Antara lain mereka mengganti nama-nama gadis dengan nama-nama Paus atau Pastor. Di antara pendukungnya adalah Kaisar Konstantine dan Paus Gregory I.


Agar lebih mendekatkan lagi pada ajaran Kristen, pada 496 M Paus Gelasius I menjadikan upacara Romawi Kuno ini menjadi Hari Perayaan Gereja dengan nama Saint Valentine's Day untuk menghormati Santo Valentine yang kebetulan meninggal pada tanggal 14 Februari.


Tentang siapa sesungguhnya Santo Valentinus sendiri, seperti telah disinggung di muka, para sejarawan masih berbeda pendapat. Saat ini sekurangnya ada tiga nama Valentine yang meninggal pada 14 Februari. Seorang di antaranya dilukiskan sebagai orang yang mati pada masa Romawi. Namun ini pun tidak pernah ada penjelasan yang detail siapa sesungguhnya "St. Valentine" termaksud, juga dengan kisahnya yang tidak pernah diketahui ujung-pangkalnya karena tiap sumber mengisahkan cerita yang berbeda.


Menurut versi pertama, Kaisar Claudius II yang memerintahkan Kerajaan Roma berang dan memerintahkan agar menangkap dan memenjarakan Santo Valentine karena ia dengan berani menyatakan tuhannya adalah Isa Al-Masih, sembari menolak menyembah tuhan-tuhannya orang Romawi. Orang-orang yang bersimpati pada Santo Valentine lalu menulis surat dan menaruhnya di terali penjaranya.


Versi kedua menceritakan, Kaisar Claudius II menganggap tentara muda bujangan lebih tabah dan kuat di dalam medan peperangan daripada orang yang menikah. Sebab itu kaisar lalu melarang para pemuda yang menjadi tentara untuk menikah. Tindakan kaisar ini diam-diam mendapat tentangan dari Santo Valentine dan ia secara diam-diam pula menikahkan banyak pemuda hingga ia ketahuan dan ditangkap. Kaisar Cladius memutuskan hukuman gantung bagi Santo Valentine. Eksekusi dilakukan pada tanggal 14 Februari 269 M.


Kemudian oleh Barat peringatan kematian Santo diperingati dengan acara berformat 'kasih sayang' supaya semua umat di dunia bisa memperingatinya termasuk umat Islam. Peringatan kematian dalam Islam disebut HAUL yang diisi dengan tahlil, mendoakan arwah orang yang meninggal . Sedangkan 'HAUL' Valentinus dimeriahkan dengan pemberian barang-barang yang berkesan buat seseorang yang kita cintai. Anehnya, banyak umat Islam yang ikut merayakan 'haul' Valentinus ini.


Apakah tidak boleh bagi umat Islam merayakan hari Valentine?

Memang ada yang mengharamkan berdasarkan hadist, "Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk kaum itu". Ada juga yang memperbolehkan sepanjang parayaan hari kasih sayang yang berupa pemberian barang tersebut tidak melanggar syariat. Misalnya, peringatan hari kasih sayang dengan pemberian barang ke panti asuhan, dan lain sebagainya. Akan tetapi di bulan Februari ini ada peringatan maulid Nabi. Jadi, peringatan kasih sayang bisa dialihkan ke maulid Nabi dengan memberikan barang kepada mereka yang membutuhkan. Hal ini bertujuan sebagai rasa syukur atas diutusnya Nabi Muhammad di muka bumi ini dan memberikan sesuatu kepada yang membutuhkan adalah ajaran Nabi Muhammad SAW..


So, jangan kita nodai kasih sayang dengan sesuatu yang melanggar syariat.

*Penyuluh Agama Islam Kemenag Kab. Boyolali

Khutbah ; Kejujuran Membawa Nikmat


Oleh: Iwan Hafidz Zaini, S.HI
Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,
Pada siang hari ini saya mengajak kepada diri saya sendiri juga kepada hadirin jamaah Jum’at untuk senantiasa menjaga dan meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah Swt. Sebab, kemulyaan manusia dihadapan Allah bukanlah bagi mereka yang berharta, bukan yang berpangkat dan berkedudukan tinggi. Tapi, kemuliaan manusia di hadapan Allah adalah dinilai dari kadar ketaqwaannya. Seberapa besar dia merasa takut kepada Allah, seberapa besar dia merasa selalu diawasi oleh Allah. Karena ketaqwaan inilah yang menunjukkan bahwa puasa kita di bulan Ramadhan benar-benar berkualitas.

Hadirin jamaah Jum’at yang berbahagia,
Salah satu sifat yang dimiliki oleh Rasulullah adalah sifat siddiq (jujur). Sifat inilah selalu diperintahkan oleh Nabi kepada umatnya untuk selalu berbuat jujur. Jujur ini adalah sifat yang gampang-gampang susah. Dikatakan gampang karena seseorang yang tidak terlibat banyak masalah atau kepentingan akan mudah untuk mengatakan sesuatu dengan jujur atau apa adanya. Tapi, apabila dia terlibat dengan suatu masalah dan mempunyai suatu kepentingan maka sangat susah untuk mengatakan kejujuran. Kecuali, tentu saja orang-orang yang konsisten dan berkomitmen dengan kejujuran.

Kenyataan yang kita jumpai disekeliling kita adalah sangat sulit mencari orang yang jujur. Baik jujur dalam ucapan maupun jujur dalam tindakan atau pekerjaan. Ya, itu karena mereka yang tidak jujur tersebut mempunyai kepentingan atau suatu kebutuhan. Sehingga, mereka melakukan ketidakjujuran demi mencapai atau mendapatkan kepentingan tersebut.
Ada yang mengatakan “yen jujur ajur”. Benarkah begitu?

Rasulullah Saw bersabda:
عليكم بالصدق فان الصدق يهدى الى البر وان البر يهدى الى الجنة وان الرجل ليصدق حتى يكتب عند الله صديقا
“Hendaklah kalian selalu jujur karena kejujuran menuntun kepada kebajikan. Dan kebajikan menuntun ke syurga. Sesungguhnya seseorang yang jujur ditulis disisi Allah sebagai orang yang jujur”

Dari hadist di atas jelas bahwa kejujuran membawa ke syurga. Jadi, tidak tepat jika ada yang mengatakan “yen jujur ajur”. Malah sebaliknya, jujur akan membawa kenikmatan yang tak terkira, yaitu syurga. Jika ada yang mengatakan “jujur ajur” kemungkinan itu adalah perkataan di lingkungan yang mayoritas para pendusta, pembohong. Sehingga orang yang jujur akan dimusuhi mayoritas pendusta ini.
Jika kita hidup ditengah para pendusta dan kita tetap konsisten dengan kejujuran kita kemungkinan kita akan dimusuhi oleh para pendusta tersebut dan kemudian kita didzolimi atau dijebak supaya kita yang jujur ini “ajur”. Secara dhohir kita ajur di dunia. Tapi, syurga telah menanti kita. Sebagaimana sabda Nabi tadi. Oleh sebab itu, Rasulullah berpesan:

قل الحق ولو كان مرا
Katakan kebenaran walau pahit (HR. Ibnu Hibban)
Dalam kondisi apapun Rasul menyuruh kita untuk jujur, untuk mengatakan kebenaran walau sangat sulit. Karena Beliau menjanjikan syurga bagi orang-orang yang jujur.

Hadirin jamaah Jum’at yang berbahagia
Di akherat orang yang jujur akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur dan dimasukkan syurga. Di dunia orang yang jujur akan disenangi dan dipercaya makhluk. Orang yang berbisnis dengan kejujuran akan disenangi konsumen ataupun relasi bisnisnya. Seorang pejabat yang jujur akan disenangi rakyatnya. Seorang pegawai yang jujur akan dicintai dan disukai atasannya. Seorang suami yang jujur akan dicintai istrinya. Begitu juga sebaliknya.

Contoh konkrit adalah baginda Nabi Muhammad Saw. Beliau sejak kecil sudah terkenal dengan kejujurannya sehingga beliau dijuluki al-amin (yang dipercaya). Ketika beliau berdagang selalu mengutamakan kejujuran. Termasuk ketika membawakan dagangan Khadijah Ra. Akibat kejujurannya tersebut dagangannya laris dan kemudian Khadijah tertarik dengan beliau dan menjadikannya suami. Ketika beliau meneruma wahyu dan menceritakan kepada masyarakat, banyak yang mengimaninya karena mereka percaya bahwa Muhammad bukanlah pendusta. Walaupun ada yang tidak mengimani itu disebabkan karena sifat egois dan gengsi dari masyarakat Arab khususnya para pemimpin-pemimpin suku/kabilah.

Hadirin jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,
Sebaliknya sikap dusta, bohong akan membawa kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan ke neraka. Sebab satu kedustaan biasanya akan diikuti oleh kedustaan-kedustaan yang lainnya sehingga kehidupannya selalu dilingkupi oleh kedustaan. Bahkan sikat dusta ini merupakan salah satu ciri-ciri orang munafik. Dan orang munafik akan ditempatkan di neraka paling bawah. Sesuai firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 145:

Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka.

Ma’asyirol Muslimin Rahimakumullah,

Oleh karena itu, marilah kita selalu memegang sikap kejujuran ini dalam kondisi dan situasi apapun. Karena hal ini merupakan perintah Allah.

“Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.”


Begitulah orang yang jujur akan mujur. Mujur karena mendapat syurga dan dipercaya banyak orang dan dicintai Allah dan makhluk.

Siapa yang tidak mau mujur di akhir kehidupannya?

tes

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More