Oleh : Iwan Hafidz Zaini, S.HI
A. Pendahuluan
Surat ‘Abasa merupakan surat Makkiyah, terdiri dari 42 ayat
diturunkan sesudah surat an-Najm. Nama yang paling populer dari surat
ini adalah surat ‘Abasa atau yang bermuka masam. Surat ini dinamai pula
dengan surat as-Shakhah (yang memekakan telinga), As-Safarah (para
penulis Kalam Ilahi) dan surah al-‘Ama (sang tuna netra). Nama-nama
tersebut terambil dari kata-kata yang terdapat dalam surat ini.
Seorang pakar tafsir Ibnu Arabi dalam bukunya Ahkam Alqur’an menamai
surat ini dengan surat Ibn Umi Maktum karena awal surat ini turun
berkenaan dengan kasus sahabat Nabi yang buta itu.
Surat 'Abasa dimulai dengan sebuah kritikan terhadap Nabi Muhammad
saw. saat dirinya berpaling dari seorang sahabat tunanetra, bernama Ibn
Umm Maktum, yang sangat berharap mendapatkan ilmu dan petunjuk dari
Nabi. Saat itu, Rasulullah sedang sibuk menerima tamu dari kalangan
pembesar Quraisy dengan harapan mereka akan memberikan respon yang baik
atas ajakan dan dakwah beliau. Diharapkan, melalui para pemuka kaum itu,
akan semakin bertambah kalangan yang akan memeluk agama Islam.
Ayat-ayat berikutnya mengingatkan manusia akan nikmat-nikmat Tuhan
yang diberikan kepada mereka semenjak lahir hingga ajal tiba. Sedang
bagian akhir surat 'Abasa ini membicarakan tentang peristiwa hari
kiamat. Ditegaskan dalam beberapa ayat bahwa manusia, kelak, hanya
terpilah menjadi dua golongan saja. Pertama, orang-orang beriman yang bersukacita dan kedua, orang-orang kafir pembuat kejahatan
B. Asbabun Nuzul
Suatu ketika Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam,
sedang berbincang di sekitar Ka'bah bersama dengan bangsawan musyrik
Quraisy di Makkah. Keberadaan Nabi disana dalam rangka menjelaskan
ajaran Islam kepada mereka. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
berharap dengan masuk Islamnya pada pembesar Quraisy itu dakwah Islam
makin tersebar luas. Tiba-tiba seorang laki-laki buta bernama Abdullah
bin Ummi Maktum menerobos masuk perbincangan itu seraya berseru. "Wahai
Rasulullah, ajarkan padaku apa-apa yang diajarkan Tuhanmu kepadamu."
Karena matanya yang buta, Abdullah tidak mengetahui keadaan Rasulullah
yang sedang serius berdakwah. Kedatangannya yang tiba-tiba dan disertai
suara Abdullah yang lantang sangat mengganggu Rasulullah. Rona wajah
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menjadi kusut dan kening beliau
tampak berkerut.
Akibat ulah Abdullah, Rasulullah berusaha tetap konsentrasi
menghadapi para pembesar itu dan tidak menghiraukan ucapan si buta.
Abdullah yang terus menerus mendesak Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam agar mengajarinya tanpa mengetahui keadaan yang sebenarnya
membuat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam pun semakin terlihat
tidak senang dengan sikap Abdullah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam ditegur Allah karenanya
Saat itu pula Allah Subhanahu wa ta'ala menegur sikap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, dalam firmannya:
Artinya: "Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena
telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin
membersihkan diri (dari dosa) atau (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu
pengajaran itu memberi manfaat baginya? Adapun orang merasa dirinya
serba cukup, maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada celaan atasmu bila
dia tidak membersihkan diri (beriman). Dan adapun yang datang kepadamu
dengan bersegera (untuk memperoleh pengajaran) sedang ia takut kepada
Allah, maka engkau mengabaikannya. Sekali-kali jangan (berbuat
demikian_. Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan adalah suatu peringatan.
Maka siapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya". (Q.S. Abasa: 1-12).
C. Kandungan Surat Abasa
Ayat 1- 16 surat Abasa ini Allah membicarakan teguran-Nya terhadap
Nabi Muhammad Saw. Sebagaimana yang telah penulis jelaskan diatas bahwa asbabun nuzul
surat ini adalah sebagai teguran Allah kepada Nabi Muhammad Saw yang
telah mengabaikan kedatangan seorang tunanetra bernama Abdullah Ibn Ummi
Maktum yang hendak meminta nasehat kepada Beliau. Nabi berpaling dari
Abdullah karena sedang sibuk menjelaskan risalahnya kepada tokoh-tokoh
kaum musyrikin Quraisy Makkah yang salah seorang tokoh utamanya bernama
Walid Bin Mughiroh. Beliau berharap ajakannya dapat menyentuh hati dan
pikiran mereka sehingga mereka bersedia memeluk Islam dan tentunya akan
membawa dampak positif bagi perkembangan dakwah Islam.
Penyebutan kata 'abasa (dhomir ghoib) yang tidak secara langsung
menunjuk Nabi Saw., mengisyaratkan betapa halus teguran ini dan betapa
Allah pun –dalam mendidik Nabi-Nya- tidak menuding beliau atau secara
tegas mempersalahkannya. Ini menurut al-Biqa’i, mengisyaratkan bahwa apa
yang beliau lakukan ketika itu sungguh berbeda dengan akhlak beliau
sehari-hari yang sangat kasih kepada yang butuh dan selalu senang berada
di tengah mereka. (Quraisy Shihab, 2002:71)
Kita sepakat bahwa kurang tepat bila memotong atau menginterupsi
percakapan orang lain dan seseorang yang melakukan hal yang demikian
akan dianggap kurang sopan. Maka bila interupsi yang kurang pada
tempatnya ini menyebabkan kurang senangnya Nabi S.a.w. maka hal itu
sesuai dengan sopan-santun masyarakat beradab. Namun, karena Ibnu Ummi
Maktum adalah seseorang yang miskin dan buta yang melakukan pelanggaran
terhadap perilaku beradab ini, maka Allah Yang Maha-tinggi memandang
tidak diharapkan bila Nabi mengabaikan orang semacam ini dan tetap
berbicara dengan kaum elit saja. Untuk menghibur dan memberi semangat
kepada orang miskin, maka penting untuk tidak membedakan mereka dalam
majelis, bahkan si miskin harus diberi keutamaan daripada si kaya.
Karena Islam datang untuk mengajar umat prinsip luhur perilaku
kemanusiaan dengan akhlak mulia.
Ibnu Ummi Maktum, walaupun ia fakir dan buta mata tetapi ia tidak
fakir iman dan buta hati. Ia lebih mampu memelihara diri dan
mensucikannya dari dosa. Hatinya lebih tergugah dan terpanggil untuk
tunduk kepada mauidhoh Allah dan Rasul-Nya. Adapun mereka yang
bergelimang harta dan kekayaan, kebanyakan mereka adalah para
pembangkang yang bodoh. Mereka tidak perlu didekati dan diperhatikan
hanya karena mengharapkan mereka dan pengikutnya memeluk agama Islam.
Dari sini, dapat dipetik suatu hikmah bahwa kekuatan manusia terletak
pada kecerdasan nurani dan hatinya yang senantiasa hidup serta
ketundukannya kepada kebenaran yang diyakininya. (Al-Maraghy, 1993: 72)
Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa orang yang diperlakukan
Rasulullah Saw tidak semestinya itu ternyata memiliki kesucian hati yang
penuh dengan cahaya keimanan kepada Allah Swt. Ia dapat mensucikan
dirinya dengan peringatan dan nasehat yang diterimanya dari Rasulullah
Saw sehingga suci dari segala dosa. Karenanya peringatan dan nasehat
Rasulullah kepadanya benar-benar bermanfaat bila dibandingkan dengan
para pembesar Quraisy yang belum pasti dapat menerima ajakan Rasulullah
SAW. Di sini Allah juga menegaskan bahwa apa yang ada dalam hati
seseorang hanya dapat diketahui oleh Allah SWT .(Al-Biqa’I, 1992:251)
Atas teguran Allah dalam surat ini Rasul Saw akhirnya menggugurkan
timbangan sosial yang ada di Arab pada waktu itu, yaitu penilaian
berdasarkan kasta. Rasulullah menikahkan putrid bibu beliau, Zainab
binti Jahsy Al-Asadiyah dengan mantan budak beliau yang bernama Zaid bin
Haritsah, walaupun masalah perkawinan sangat sensitif saat itu. Rasul
juga mempersatukan Salman Al-Farisi yang bukan berbangsa Arab dengan
jamaah Islam sampai mengikis rasisme kulit.
Ayat-ayat berikutnya menunjukkan keheranan terhadap sikap
orang-orang yang berpaling dari petunjuk, tidak mau beriman, dan
menyombongi dakwah ke jalan Tuhannya. Segmen ini menunjukkan keheranan
terhadap sikap orang itu dan kekafirannya, yang tidak mau mengingat
sumber keberadaannya dan asal-usul kejadiannya. Juga yang tidak mau
memperhatikan pemeliharaan dan perlindungan Allah kepada dirinya dalam
setiap tahapan pertumbuhan dan perkembangan dirinya sejak pertama
hingga terakhir dan tidak mau menunaikan kewajibannya terhadap
Penciptanya, Penjaminnya, dan Penghisabnya.
Artinya: “Binasalah manusia, alangkah
amat sangat kekafirannya. Dari apakah Allah menciptakannya? Dari
setetes mani Allah menciptakannya dan menentukannya. Kemudian Dia
memudahkan jalannya. Lalu, Dia mematikannya dan memasukkannya ke dalam
kubur. Apabila Dia menghendaki,Dia membangkitkannya kembali. Sekali-kali
jangan, manusia itu belum melaksanakan apa yang diperintahkan Allah
kepadanya.” (‘Abasa: 17-23)
Kelompok ayat iini berbicara tentang keniscayaan hari Kemudian dan
sikap manusia yang durhaka terhadapnya. Mereka mengingkari itu pastilah
enggan memerhatikan al-Qur’an yang sifatnya demikian agung, sebagaimana
diuraikan sebelum ayat-ayat diatas, karena sungguh binasalah manusia
yang durhaka, alangkah amat sangat besar kekafirannya. Bukan saja pada
banyaknya kekufuran, tetapi juga pada kualitas kekufurannya yang
demikian mantab serta terjadi kapan dan dimana saja. Apakah yang
membuatnya ingkar? Mengapa ia enggan percaya keniscayaan kiamat?
Tidakkah ia berfikir dari apakah Allah menciptakannya? Tanpa menunggu
jawaban, langsung saja dijawab, dari setetes mani yang kadarnya sangat sedikit dan terlihat menjijikkan.
Dari sesuatu yang tidak ada harganya sama sekali, dari bahan pokok
yang tidak ada nilainya. Akan tetapi, Penciptanyalah yang menentukannya
dengan menciptakan dan mengaturnya. Dia menentukannya dengan memberinya
harga dan nilai, menjadikannya makhluk yang sempurna, dan menjadikannya
makhluk yang mulia, serta mengangkatnya dari asal-usul yang hina dan
rendah ke tempat dan kedudukan tinggi yang untuknyalah bumi dengan
segala sesuatunya diciptakan. Direntangkan untuknya jalan kehidupan,
atau dibentangkan untuknya jalan petunjuk, dan dimudahkan baginya
untuk menempuhnya dengan peralatan-peralatan dan potensi-potensi yang
diberikan-Nya, baik untuk menempuh kehidupan maupun menempuh hidayah
tersebut.
Hingga apabila perjalanan hidup sudah berakhir, maka selesailah
kehidupan dan aktivitasnya sebagaimana yang dialami oleh semua makhluk
hidup, tanpa ada pilihan lain dan tanpa dapat menghindar.
Maka, urusan kesudahannya ini seperti urusannya dalam permulaannya,
berada di tangan Dzat yang telah mengeluarkannya kepada kehidupan dan
menyudahi kehidupannya manakala Dia menghendaki. Juga menjadikan tempat
tinggalnya di perut bumi, sebagai penghormatan baginya dan untuk
memeliharanya. Dia tidak menyunnahkan untuk membiarkan tubuhnya dan
anggota-anggotanya berserakan di muka bumi. Bahkan, Dia menjadikan
insting manusia berkeinginan menutup dan mengubur mayat. Maka, semua
ini termasuk pengaturan dan penataan-Nya. Sehingga, apabila telah tiba
waktu yang dikehendaki-Nya, maka dikembalikanlah manusia itu kepada
kehidupan untuk menghadapi urusan yang dikehendaki-Nya.
Artinya: “Apabila datang suara yang
memekakkan (tiupan sangkakala yang kedua), pada hari ketika manusia lari
dari saudaranya, ibu dan bapaknya, serta istri dan anak-anaknya; maka
setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup
menyibukkannya. Banyak muka pada hari itu berseri-seri, tertawa, dan
gembira ria. Banyak (pula) muka pada hari itu tertutup debu, dan ditutup
lagi oleh kegelapan. Mereka itulah orang-orang kafir lagi durhaka.” (QS. ‘Abasa: 33-42)
Kata “as-shaakhkhah” (الصَّاخَّةُ) adalah lafal
yang memiliki bunyi yang keras dan menembus, hampir memekakkan gendang
telinga. Ia membelah angkasa, hingga sampai di telinga sebagai teriakan
yang sangat keras dan bertubi-tubi. Bunyi yang sangat keras ini sebagai
pendahuluan bagi pemandangan berikutnya, yaitu pemandangan yang
melukiskan orang yang lari dari manusia yang paling dekat dengannya.
Padahal, mereka saling terikat dengan jalinan-jalinan dan
ikatan-ikatan yang tak terpisahkan, tetapi suara yang sangat keras itu
merobek-robek ikatan-ikatan tersebut dan memutuskan jalinan-jalinannya.
Ketakutan dan kengerian dalam pemandangan ini bersifat individual, ’nafsi-nafsi’ terfokus
pada dirinya sendiri’, menakutkan diri yang bersangkutan,
memisahkannya dari segala sesuatu yang melingkupinya, dan menekannya
dengan tekanan yang berat. Maka, setiap orang hanya sibuk memikirkan
dirinya dan urusannya. Ia merasakan kesedihan yang khusus, yang tidak
meninggalkan orang yang memiliki kelebihan dalam pemikiran dan usaha.
Begitulah keadaan semua makhluk pada hari yang sangat menakutkan itu,
ketika telah tiba suara yang memekakkan. Kemudian dilukiskanlah keadaan
orang-orang yang beriman dan keadaan orang-orang kafir, sesudah mereka
dinilai dan ditimbang dengan timbangan Allah di sana.
‘Banyak muka pada hari itu berseri-seri, tertawa, dan gembira ria.” (QS. ‘Abasa: 38-39)
Inilah wajah-wajah yang cerah ceria, berbinar-binar, tertawa-tawa,
bergembira-ria, penuh harapan kepada Tuhannya, dan merasa tenang karena
merasakan keridhaan Tuhannya kepadanya. Maka, mereka selamat dari
bencana suara yang memekakkan dan membingungkan. Atau, karena mereka
sudah mengetahui tempat kembalinya, dan sudah jelas baginya tempat
tinggalnya, lalu wajahnya ceria dan bergembira ria sesudah terjadinya
peristiwa yang menakutkan dan membingungkan.
Dengan demikian, terdapat keserasian antara permulaan dan akhir
surah. Bagian permulaan menetapkan hakikat timbangan, dan bagian akhir
menetapkan basil timbangan. Terasa pulalah kemandirian surah yang
pendek ini dengan muatan dan cakupannya terhadap hakikat-hakikat yang
besar, pemandangan-pemandangan, dan kesan-kesannya Dengan semua ini,
sempurnalah keindahan dan kebagusannya yang halus lembut dan penyesalan,
dan ditutupi oleh hitamnya kehinaan dan kerendahan. Mereka sudah
mengetahui apa yang telah mereka kerjakan, karena itu mereka yakin akan
pembalasan yang dinantikannya.
”Mereka itulah orang-orang kafir lagi durhaka “.
Yang tidak mau beriman kepada Allah dan risalah-risalah-Nya,
melanggar batas-batas-Nya, dan merusak apa-apa yang diperintahkan-Nya
untuk dihormati. Pada wajah setiap orang itu sudah terlukis tempat
kembalinya masing-masing. Terlukis sifat-sifat dan identitas mereka dari
celah-celah lafal dan kalimat Al-Qur’an yang diungkapkan ini.
Seakan-akan wajah-wajah tersebut berupa sosok yang bersangkutan, karena
kuatnya pengungkapan Al-Qur’an dan lembutnya sentuhannya.
D. KESIMPULAN
Dari pembahasan QS. ‘Abasa di atas bisa diambil kesimpulan bahwa:
- Tidak diperbolehkannya sikap diskriminatif dalam memberikan peringatan atau pun nasehat. Pada hakekatnya manusia sama di hadapan Allah. hanya ketaqwaan yang membedakan. Menilai seseorang bukan dari kekuatan harta kekayaan, pangkat, jabatan maupun keturunannya. Melainkan kekuatan seseorang itu terletak pada kecerdasan nurani dan hati yang berpihak kepada kebenaran
- Manusia hendaknya memperhatikan dari apa ia diciptakan dan senantiasa mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan. Karena kehidupan di dunia tidak langgeng. Ada hari kebangkitan.
- Disampaikan dalam Rakor dan Pembinaan Pokjaluh Kankemenag Kab. Boyolali Selasa, 18 Desember 2012
as-Shawy al-Maliki, Ahmad , 1993, Hasyiyah A’la Tafsir al-Jalalain, Beirut:Dar al-Fikr
al-Maraghy, Ahmad Mustafa, 1993, Tafsir al-Maraghi , Semarang:Cv. Toha Putra
al-Biqa’iy, Burhanudin Abu al-Hasan Ibrahim ibn Umar, 1992, Nazhm ad-Durar Fi Tanasub al-Ayat wa as-Suwar , Kairo:Dar al-Kitab al-Islamy
Shihab, M. Quraisy, 2002, Tafsir Al-Misbah, Jakarta:Lentera Hati
0 komentar:
Posting Komentar