Rabu, 27 Oktober 2010

Pemberdayaan Cash Wakf di Indonesia

Oleh : Iwan Hafidz Zaini

Kemiskinan masih menjadi masalah yang belum terselesaikan di Indonesia. Dimana ada hal-hal yang berhubungan dengan masalah kemiskinan , disitu akan kita jumpai banyak orang. Misalnya, dalam pembagian BLT (Bantuan Langsung Tunai) yang dikhususkan bagi keluarga miskin, pasti akan banyak masyarakat yang mendaftar sekalipun dia adalah orang mampu. Pembagian zakat pun tidak jauh beda. Banyak masyarakat yang berbondong-bondong rela berdesak-desakan antri zakat sampai menimbulkan korban jiwa. Begitu juga dengan kondisi kesehatan dan pendidikan masyarakat Indonesia, karena miskin tidak memperoleh kesehatan yang layak, karena tidak punya biaya untuk melanjutkan sekolah, maka putus sekolah .

Dalam menyelesaikan masalah kemiskinan ataupun kesenjangan sosial tersebut, Islam memberikan solusi berupa pemberian sesuatu dari kalangan the have (orang berduit/orang mampu) kepada kalangan the have not (orang yang kurang mampu) melalui zakat, infaq, sodaqoh, hibah, ataupun wakaf.

Dalam artikel ini saya akan membahas tentang wakaf. Kenapa? Karena wakaf berbeda dengan yang lainnya. Sebab harta wakaf akan tetap abadi, lestari sedang harta zakat, infaq, dan sodaqoh bisa habis sesuai dengan kebutuhan si penerimanya. Selain itu wakaf adalah salah satu usaha mewujudkan dan memelihara hubungan vertical (hablun min Allah) dan hubungan horizontal (hablun min an-nas). Dalam fungsinya sebagai ibadah, wakaf diharapkan akan menjadi bekal kehidupan sang wakif (orang yang berwakaf) di hari kemudian, karena ia merupakan satu bentuk amal yang pahalanya akan terus mengalir selama harta wakaf dimanfaatkan.

Kalau kita mencari dalil wakaf dalam al-Qur’an maupun Hadits tidak akan kita temui dalil yang secara jelas menunjukkan legitimasi diperbolehkannya wakaf. Tetapi secara umum, kita bisa menemukan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits yang menganjurkan agar orang yang beriman mau menyisihkan sebagian dari kelebihan hartanya digunakan untuk ‘proyek’ produktif bagi masyarakat.

Banyak definisi yang diberikan para ulama terhadap kata wakaf. Secara umum wakaf adalah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya dengan tetap utuhnya barang serta dimanfaatkan untuk sesuatu yang diperbolehkan oleh agama.

Apabila pada umumnya masyarakat kita mewakafkan harta berupa tanah, maka kali ini saya akan membahas tentang wakaf berupa uang atau wakaf tunai (cash wakf). Bila dicermati, pendayagunaan harta wakaf untuk kegiatan ekonomi produktif masih belum banyak dilakukan. Padahal wakaf memiliki potensi yang sangat prospektif guna meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat, terutama dengan konsep wakaf uang. Asal wakaf uang tersebut dikelola secara professional. Namun, secara historis, wakaf uang ini masih menjadi perdebatan dikalangan ulama fikih klasik.

Dikalangan ulama fikih klasik, hukum mewakafkan uang merupakan persoalan yang masih debatable (perselisihan/ikhtilaf). Perselisihan tersebut tidak lepas dari tradisi yang lazim di masyarakat bahwa mewakafkan harta hanya berkisar pada harta tetap (fixed asset), dan pada penyewaan harta wakaf.

Ulama yang pertama kali memfatwakan wakaf uang adalah Muhammad bin Abdullah al-Anshari (murid dari Zufar sahabat Imam Abu Hanifah). Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu’ mengatakan, “ dan berbeda pendapat para sahabat kita tentang berwakaf dengan dana dirham dan dinar. Orang yang memperbolehkan mempersewakan dirham dan dinar, memperbolehkan berwakaf dengannya dan yang tidak memperbolehkan mempersewakannya ,tidak memperbolehkan mewakafkannya.” Sedangkan menurut Ibn Abidin salah satu ulama madzhab Hanafi mengatakan, sah tidaknya wakaf uang tergantung adat kebiasaan disuatu tempat. Sedangkan Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni meriwayatkan satu pendapat dari sebagian pendapat ulama yang tidak memperbolehkan wakaf uang. Dengan alasan uang akan lenyap ketika dibayarkan, sehingga tidak ada lagi wujudnya.

Perbedaan pendapat ulama tersebut berada pada unsur ‘keabadian’ dari harta wakaf. Sesuai dengan petunjuk Rasulullah kepada Umar ibn Khottob, “Tahanlah (wakafkanlah) pohon dan sedekahkan buahnya.”

Menurut saya, nilai uang itu tidak akan habis atau lenyap apabila dikelola secara professional. Misalnya, badan-badan wakaf dalam mengelola wakaf uang (cash wakf) bekerjasama bank-bank syariah yang bisa menjamin keutuhan nilai uang wakaf. Bila dalam satu tahun ada 20 juta umat Islam Indonesia menyerahkan uang per-‘gundul’ sebesar Rp. 50.000 untuk wakaf. Maka, dalam kalkulasi sederhana akan diperoleh Rp. 1 trilyun dana wakaf yang siap diinvestasikan. (20.000.000 X 50.000= 1.000.000.000). Kemudian, serahkan dana siap infestasi tersebut kepada pengelola profesional yang memberi jaminan esensi jumlahnya tidak berkurang dan malah bertambah. Seperti yang telah saya sebutkan diatas, misalnya uang tersebut dititipkan di bank syari’ah dengan bagi hasil (murobahah) 10 % tiap tahun . Maka, pada akhir tahun sudah ada dana segar Rp. 100 Milyar yang sudah siap dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat. Itu baru kalkulasi 20 juta penduduk muslim Indonesia dengan wakaf sebesar Rp. 50.000 pertahun. Coba kalau wakafnya sebesar Rp.200.000 atau Rp. 500.000?? Saya yakin permasalahan kemiskinan di Indonesia bisa diselesaikan. Tentunya dengan syarat dikelola secara professional dan tidak dikorupsi.

*penulis adalah Penyuluh Agama Islam Kecamatan Boyolali

0 komentar:

Posting Komentar

tes

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More