Keluarga Besar KUA Boyolali

Pisah kenal Kepala KUA Kec. Boyolali berpose bersama P3N se Kecamatan Boyolali

Kepala KUA Kec. Boyolali

Kepala KUA Kec. Boyolali, H. Kusaeni, S.PdI memberi sambutan dalam rakor P3N Se-Kec. Boyolali

Rakor dan Pembinaan Penyuluh

Rakor dan Pembinaan Penyuluh Agama Islam Fungsional dan Honorer Kecamatan Boyolali

Pelatihan Khatib dan Da'i Muda

Pelatihan Khatib dan Da'i muda merupakan salah satu program tahunan dari KUA Kec. Boyolali dan Penyuluh Agama Islam Kec. Boyolali dan mendapat respon baik dari masyarakat

KUA Kec. Boyolali

Pintu masuk KUA Kec. Boyolali...Monggo Pinaraak..

Sabtu, 11 Februari 2012

Sisi Lain Bersyukur


Oleh: Iwan Hafidz Zaini, S.HI

Sudah bersyukurkah anda hari ini? Saya tanya! Mungkin ada yang menjawab, “Syukur? Kenapa? Wong saya hari ini biasa-biasa saja. Ndak ada yang istimewa.” Ada juga yang menjawab, “Sudah” ya baguslah kalau begitu. Kalau yang menjawab seperti jawaban pertama tadi kemungkinan beranggapan bahwa bersyukur adalah setelah menerima nikmat. Kalau tidak menerima ngapain bersyukur? Semoga anda bukan termasuk yang ini, yach. Yen tak pikir-pikir (niru logat alm. Mas Basuki), setiap hari kita mendapat kenikmatan. Coba lihat, anda mempunyai lemari es, mempunyai buku tabungan (walau saldonya bulan depan habis karena terpotong biaya administrasi. Hehehe), mempunyai pekerjaan tetap (tetap itu-itu aja pekerjaannya.hehe), bisa menjalankan kegiatan ibadah tanpa takut terhujani peluru atau rudal dari pasukan NATO, bisa membaca tulisan saya ini, bukankah itu kenikmatan yang saban hari kita rasakan? Kenapa tidak bersyukur? Why? Lupa? Padahal Tuhan tak pernah lupa memberi kenikmatan kepada kita?

Kalau anda rajin sholat, saya yakin anda termasuk orang yang bersyukur dengan ucapan dan tindakan. Kok bisa sholat merupakan syukur dengan ucapan? Sebab, setiap kita sholat wajib membaca al-Fatihah dan Surat Al-Fatihah didahului dengan lafadz “Alhamdulillah” (setelah membaca bismillah tentunya).

Lalu, apakah benar bersyukur itu setelah kita menerima nikmat? Atau sebelum menerima nikmat kita bersyukur? Saya tidak tahu mana yang benar. Yang jelas, kalau kita cermati tadi bahwa al-Qur’an yang dimulai dengan surat al-Fatehah menggunakan lafadz “Alhamdulillah” sebagai pembuka (tentunya setelah menyebut asma Tuhan Yang Maha Kasih dan Sayang). Begitu juga dalam berdoa, kita baca lafadz “Alhamdulillah” dulu baru berdoa alias bersyukur dulu baru meminta. Tapi, kebanyakan dari kita, meminta dulu, dikabulkan, baru bersyukur. Tak apa. Yang penting masih bersyukur.

Dalam al-Qur’an Allah mengingatkan kita supaya bersyukur, jangan kufur (menginkari nikmat). Begitu juga Nabi Muhammad Saw dalam berdoa selalu memohon kepada Allah supaya dijadikan ‘abdan syakura. Hamba yang bersyukur. Klop, pas, cocok. Allah memerintah untuk bersyukur dan Nabi mencontohkan dalam do’a supaya dijadikan hamba yang bersyukur.

Lalu apakah ada implikasi atau pengaruh bersyukur terhadap jiwa kita, pekerjaan kita, karir kita, kesuksesan kita? ADA. Dengan huruf besar semua biar mantab. Mau bukti? Mungkin anda pernah mendengar tentang Kristal air. Yups, air mempunyai Kristal-kristal kecil yang bias berubah bentuk mengikuti kata-kata yang dilontarkan manusia. Dalam buku The Hidden Messages in Water dituliskan bahwa air seolah-olah mengerti bahasa manusia. Dan tahukah anda kapan Kristal air memperagakan bentuknya yang paling apik, yahut dan menarik? Ternyata apabila dikumandangkan kata ‘syukur’ dan ‘cinta’ dalam bahasa apapun. Termasuk bahasa hewan jika anda paham dan bisa. Hehehe.

Lalu pengaruhnya terhadap keseharian kita? Air. Ada apa dengan air? Untung saja zodiak saya adalah pembawa air alias aquarius. Bukan penjual air keliling lho. Jadi, apa yang saya bawa tergantung anda yang menerima. Kalau anda menerima dengan syukur maka akan terbentuk Kristal-kristal air yang menakjubkan. Tapi, jika anda sinis, marah-marah, maka anda akan membentuk Kristal air yang tak beraturan dan jelek, buruk mirip wajah anda. Hahaha. Bercanda. Mulai serius. Air. Semua kehidupan bermula dari air. Manusia berasal dari percampuran air. Alam semesta berasal dari air. Dan yang terpenting, 70 persen tubuh manusia terdiri atas air! SO, Setiap kali kita menyebut kata ‘syukur’ atau menyimpan rasa syukur, maka kita juga membentuk Kristal-kristal air cantik dalam tubuh kita sehingga menimbulkan energi positif yang sangat kita butuhkan untuk menggapai kesuksesan.

Jadi, bisa dikatakan kalau pingin sukses, rajin-rajin bersyukur. Syukur adalah gerbang menuju sukses. Kok bisa? Ya bisa. Bukti konkritnya adalah Nabi Muhammad. Seorang yang pandai bersyukur akhirnya sukses menjadi seorang nabi dengan pengikut terbanyak dan kata-katanya masih dihapal oleh umatnya. Dalam bahasa Indonesia kata ‘syukur’ berarti berterima kasih. Sebagai hamba Tuhan kita berterima kasih kepadaNya. Sebagai makhluk sosial kita berterima kasih kepada manusia yang berbuat baik dan berbaik hati kepada kita. Rumusnya ==> jika pingin sukses jangan sungkan-sungkan mengucapkan terima kasih. Membalas sesuatu kebaikan dengan ucapan ‘terima kasih’ itu berdampak sangat besar untuk kehidupan kita. Coba jika kita telah berbuat baik kepada orang tapi dia tidak mengucap ‘terima kasih’ pasti tuk berikutnya kita akan malas membantu. Betul?



Saking dahsyatnya kata ‘terima kasih’ ini, kasir-kasir di supermarket dan mall-mall dituntut untuk mengucapkan kata ‘terima kasih’ kepada konsumennya. Sampai-sampai ada yang berani membayar ratusan ribu rupiah jika kasir tidak mengucapkan kata ‘terima kasih’. Entah setelah itu kasir dipecat. Hehe. Sebab mereka, pelaku bisnis, tahu bahwa ucapan terima kasih berdampak besar terhadap omzetnya. So, jika kita pingin sukses dan memperbesar karir atau pekerjaan kita. Jangan sungkan-sungkan mengucapkan ‘terima kasih’. Setelah itu, pasti akan ada dampak yang besar. Sebab, Tuhan berfirman, “Jika kamu bersyukur (mengucapkan terima kasih) , maka akan Aku tambahi (nikmat)”. Saya sering melihat supporter Persikmania (Persik Kediri) ketika berada di Stadion Manahan. Mereka sebelum dan sesudah pertandingan menyanyikan “Terima kasih Pasoepati. Kita adalah saudara” dan pertandingan berjalan sukses tanpa kerusuhan.

Itulah, dahsyatnya berterima kasih. Berterima kasih kepada manusia berdampak luar biasa, apalagi berterima kasih kepada Allah, Sang Pencipta Alam.

Wallahu a'lam bishowab

*penulis adalah Penyuluh Agama Islam Kantor Kementerian Agama Kab. Boyolali

Pelaksanaan Wakaf Benda Tidak Bergerak

Benda tidak bergerak yang dapat diwakafkan yaitu:

- Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan peundang-undangan yang berlaku, baik yang sudah maupun yang belum terdaftar.
- Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah
- Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah
- Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(Pasal 16 ayat 2, UU No. 41 tahun 2004)

Tata cara perwakafan tanah milik secara berurutan dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Perorangan atau badan hukum yang mewakafkan tanah hak miliknya (sebagai calon wakif) diharuskan datang sendiri di hadapan PPAIW untuk melaksanakan Ikrar Wakaf
2. Calon wakif sebelum mengikrarkan wakaf, terlebih dahulu menyerahkan kepada PPAIW, surat-surat
sebagai berikut :

a. Sertifikat hak milik atau tanda bukti kepemilikan tanah;
b. Surat Keterangan Kepala Desa diperkuat oleh Camat setempat mengenai kebenaran pemilikan tanah dan tidak dalam sengketa;
c. Surat Keterangan pendaftaran tanah;
d. Ijin Bupati/Walikotamadya c.q. Sub Direktorat Agraria setempat, hal ini terutama dalam rangka tata kota atau master plan city.

3. PPAIW meneliiti surat-surat dan syarat-syarat, apakah sudah memenuhi untuk pelepasan hak atas tanah (untuk diwakafkan), meneliti saksi-saksi dan mengesahkan susunan nadzir.

4. Dihadapan PPAIW dan dua orang saksi, wakif mengikrarkan atau mengucapkan kehendak wakaf itu kepada nadzir yang telah disahkan.

Ikrar wakaf tersebut diucapkan dengan jelas, tegas dan dituangkan dalam bentuk tertulis (ikrar wakaf bentuk W.1). Sedangkan bagi yang tidak bisa mengucapkan (misalnya bisu) maka dapat menyatakan kehendaknya dengan suatu isyarat dan kemudian mengisi blanko dengan bentuk W.1.

Apabila wakif itu sendiri tidak dapat menghadap Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW), maka wakif dapat membuat ikrar secara tertulis dengan persetujuan dari Kandepag yang mewilayahi tanah wakaf dan kemudian surat atau naskah tersebut dibacakan dihadapan nadzir setelah mendapat persetujuan dari Kandepag dan semua yang hadir dalam upacara ikrar wakaf tersebut ikut menandatangani Ikrar Wakaf (bentuk W.1).

5. PPAIW segera membuat Akta Ikrar Wakaf (bentuk W.2) rangjkap empat dengan dibubuhi materi menurut ketentuan yang berlaku dan selanjutnya, selambat-lambatnya satu bulan dibuat ikrar wakaf, tiap-tiap lembar harus telah dikirim dengan pengaturan pendistribusiannya sebagai berikut:

a. Akta Ikrar Wakaf :

1) Lembar pertama disimpan PPAIW
2) Lembar kedua sebagai lampiran surat permohonan pendaftaran tanah wakaf ke kantor Subdit Agraria setempat (W.7)
3) Lembar ketiga untuk Pengadilan Agama setempat

b. Salinan Akta Ikrar Wakaf :

1) Lembar pertama untuk wakif
2) lembar kedua untuk nadzir
3) lembar ketiga untuk Kandep. Agama Kabupatan/Kotamadya
4) lembar keempat untuk Kepala Desa setempat.

Disamping telah membuat Akta, PPAIW mencatat dalam Daftar Akta Ikrar Wakaf (bentuk W.4) dan menyimpannya bersama aktanya dengan baik.

Sejarah dan Perkembangan Wakaf

Masa Rasulullah

Dalam sejarah Islam, Wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW karena wakaf disyariatkan setelah nabi SAW Madinah, pada tahun kedua Hijriyah. Ada dua pendapat yang berkembang di kalangan ahli yurisprudensi Islam (fuqaha’) tentang siapa yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf. Menurut sebagian pendapat ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah Rasulullah SAW ialah wakaf tanah milik Nabi SAW untuk dibangun masjid.

Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Syabah dari ‘Amr bin Sa’ad bin Mu’ad, ia berkata: Dan diriwayatkan dari Umar bin Syabah, dari Umar bin Sa’ad bin Muad berkata: “Kami bertanya tentang mula-mula wakaf dalam Islam? Orang Muhajirin mengatakan adalah wakaf Umar, sedangkan orang-orang Ansor mengatakan adalah wakaf Rasulullah SAW." (Asy-Syaukani: 129).

Rasulullah SAW pada tahun ketiga Hijriyah pernah mewakafkan ketujuh kebun kurma di Madinah; diantaranya ialah kebon A’raf, Shafiyah, Dalal, Barqah dan kebon lainnya. Menurut pendapat sebagian ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan Syariat Wakaf adalah Umar bin Khatab. Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar ra, ia berkata:

Dari Ibnu Umar ra, berkata : “Bahwa sahabat Umar ra, memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar ra, menghadap Rasulullah SAW untuk meminta petunjuk, Umar berkata : “Hai Rasulullah SAW., saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapat harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah SAW. bersabda: “Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya), tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan. Ibnu Umar berkata: “Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-rang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, Ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta” (HR.Muslim).

Kemudian syariat wakaf yang telah dilakukan oleh Umar bin Khatab dususul oleh Abu Thalhah yang mewakafkan kebun kesayangannya, kebun “Bairaha”. Selanjutnya disusul oleh sahabat Nabi SAW. lainnya, seperti Abu Bakar yang mewakafkan sebidang tanahnya di Mekkah yang diperuntukkan kepada anak keturunannya yang datang ke Mekkah. Utsman menyedekahkan hartanya di Khaibar. Ali bin Abi Thalib mewakafkan tanahnya yang subur. Mu’ads bin Jabal mewakafkan rumahnya, yang populer dengan sebutan “Dar Al-Anshar”. Kemudian pelaksanaan wakaf disusul oleh Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam dan Aisyah Isri Rasulullah SAW.

Masa Dinasti-Dinasti Islam

Praktek wakaf menjadi lebih luas pada masa dinasti Umayah dan dinasti Abbasiyah, semua orang berduyun-duyun untuk melaksanakan wakaf, dan wakaf tidak hanya untuk orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar gaji para statnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa. Antusiasme masyarakat kepada pelaksanaan wakaf telah menarik perhatian negara untuk mengatur pengelolaan wakaf sebagai sektor untuk membangun solidaritas sosial dan ekonomi masyarakat.

Wakaf pada mulanya hanyalah keinginan seseorang yang ingin berbuat baik dengan kekayaan yang dimilikinya dan dikelola secara individu tanpa ada aturan yang pasti. Namun setelah masyarakatIslam merasakan betapa manfaatnya lembaga wakaf, maka timbullah keinginan untuk mengatur perwakafan dengan baik. Kemudian dibentuk lembaga yang mengatur wakaf untuk mengelola, memelihara dan menggunakan harta wakaf, baik secara umum seperti masjid atau secara individu atau keluarga.

Pada masa dinasti Umayyah yang menjadi hakim Mesir adalah Taubah bin Ghar Al-Hadhramiy pada masa khalifah Hisyam bin Abd. Malik. Ia sangat perhatian dan tertarik dengan pengembangan wakaf sehingga terbentuk lembaga wakaf tersendiri sebagaimana lembaga lainnya dibawah pengawasan hakim. Lembaga wakaf inilah yang pertama kali dilakukan dalam administrasi wakaf di Mesir, bahkan diseluruh negara Islam. Pada saat itu juga, Hakim Taubah mendirikan lembaga wakaf di Basrah. Sejak itulah pengelolaan lembaga wakaf di bawah Departemen Kehakiman yang dikelola dengan baik dan hasilnya disalurkan kepada yang berhak dan yang membutuhkan.

Pada masa dinasti Abbasiyah terdapat lembaga wakaf yang disebut dengan “shadr al-Wuquuf” yang mengurus administrasi dan memilih staf pengelola lembaga wakaf. Demikian perkembangan wakaf pada masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah yang manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat, sehingga lembaga wakaf berkembang searah dengan pengaturan administrasinya.

Pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir perkembangan wakaf cukup menggembirakan, dimana hampir semua tanah-tanah pertanian menjadi harta wakaf dan semua dikelola oleh negara dan menjadi milik negara (baitul mal). Ketika Shalahuddin Al-Ayyuby memerintah Mesir, maka ia bermaksud mewakafkan tanah-tanah milik negara diserahkan kepada yayasan keagamaan dan yayasan sosial sebagaimana yang dilakukan oleh dinasti Fathimiyah sebelumnnya, meskipun secara fiqh Islam hukum mewakafkan harta baitulmal masih berbeda pendapat di antara para ulama.

Pertama kali orang yang mewakafkan tanah milik nagara (baitul mal) kepada yayasan dan sosial adalah Raja Nuruddin Asy-Skyahid dengan ketegasan fatwa yang dekeluarkan oleh seorang ulama pada masa itu ialah Ibnu “Ishrun dan didukung oleh pada ulama lainnya bahwa mewakafkan harta milik negara hukumnya boleh (jawaz), dengan argumentasi (dalil) memelihara dan menjaga kekayaan negara. Sebab harta yang menjadi milik negara pada dasarnya tidak boleh diwakafkan. Shalahuddin Al-Ayyubi banyak mewakafkan lahan milik negara untuk kegiatan pendidikan, seperti mewakafkan beberapa desa (qaryah) untuk pengembangan madrasah mazhab asy-Syafi’iyah, madrasah al-Malikiyah dan madrasah mazhab al-Hanafiyah dengan dana melalui model mewakafkan kebun dan lahan pertanian, seperti pembangunan madrasah mazhab Syafi’iy di samping kuburan Imam Syafi’I dengan cara mewakafkan kebun pertanian dan pulau al-Fil.

Dalam rangka mensejahterakan ulama dan kepentingan misi mazhab Sunni Shalahuddin al-Ayyuby menetapkan kebijakan (1178 M/572 H) bahwa bagi orang Kristen yang datang dari Iskandar untuk berdagang wajib membayar bea cukai. Hasilnya dikumpulkan dan diwakafkan kepada para ahli yurisprudensi (fuqahaa’) dan para keturunannya. Wakaf telah menjadi sarana bagi dinasti al-Ayyubiyah untuk kepentingan politiknya dan misi alirannya ialah mazhab Sunni dan mempertahankan kekuasaannya. Dimana harta milik negara (baitul mal) menjadi modal untuk diwakafkan demi pengembangan mazhab Sunni dan menggusus mazhab Syi’ah yang dibawa oleh dinasti sebelumnya, ialah dinasti Fathimiyah.

Perkembangan wakaf pada masa dinasti Mamluk sangat pesat dan beraneka ragam, sehingga apapun yang dapat diambil manfaatnya boleh diwakafkan. Akan tetapi paling banyak yang diwakafkan pada masa itu adalah tanah pertanian dan bangunan, seperti gedung perkantoran, penginapan dan tempat belajar. Pada masa Mamluk terdapat wakaf hamba sahaya yang di wakafkan budak untuk memelihara masjid dan madrasah. Hal ini dilakukan pertama kali oleh pengusa dinasti Ustmani ketika menaklukan Mesir, Sulaiman Basya yang mewakafkan budaknya untuk merawat mesjid.

Manfaat wakaf pada masa dinasti Mamluk digunakan sebagaimana tujuan wakaf, seperti wakaf keluarga untuk kepentingan keluarga, wakaf umum untuk kepentingan sosial, membangun tempat untuk memandikan mayat dan untuk membantu orang-orang fakir dan miskin. Yang lebih membawa syiar islam adalah wakaf untuk sarana Harmain, ialah Mekkah dan Madinah, seperti kain ka’bah (kiswatul ka’bah). Sebagaimana yang dilakukan oleh Raja Shaleh bin al-Nasir yang membrli desa Bisus lalu diwakafkan untuk membiayai kiswah Ka’bah setiap tahunnya dan mengganti kain kuburan Nabi SAW dan mimbarnya setiap lima tahun sekali.

Perkembangan berikutnya yang dirasa manfaat wakaf telah menjadi tulang punggung dalam roda ekonomi pada masa dinasti Mamluk mendapat perhatian khusus pada masa itu meski tidak diketahui secara pasti awal mula disahkannya undang-undang wakaf. Namun menurut berita dan berkas yang terhimpun bahwa perundang-undangan wakaf pada dinasti Mamluk dimulai sejak Raja al-Dzahir Bibers al-Bandaq (1260-1277 M/658-676) H) di mana dengan undang-undang tersebut Raja al-Dzahir memilih hakim dari masing-masing empat mazhab Sunni.

Pada orde al-Dzahir Bibers perwakafan dapat dibagi menjadi tiga katagori: Pendapat negara hasil wakaf yang diberikan oleh penguasa kepada orang-orang yanbg dianggap berjasa, wakaf untuk membantu haramain (fasilitas Mekkah dan Madinah) dan kepentingan masyarakat umum. Sejak abad lima belas, kerajaan Turki Utsmani dapat memperluas wilayah kekuasaannya, sehingga Turki dapat menguasai sebagian besar wilayah negara Arab. Kekuasaan politik yang diraih oleh dinasti Utsmani secara otomatis mempermudah untuk merapkan Syari’at Islam, diantaranya ialah peraturan tentang perwakafan.

Di antara undang-undang yang dikeluarkan pada dinasti Utsmani ialah peraturan tentang pembukuan pelaksanaan wakaf, yang dikeluarkan pada tanggal 19 Jumadil Akhir tahun 1280 Hijriyah. Undang-undang tersebut mengatur tentang pencatatan wakaf, sertifikasi wakaf, cara pengelolaan wakaf, upaya mencapai tujuan wakaf dan melembagakan wakaf dalam upaya realisasi wakaf dari sisi administrasi dan perundang-udangan.

Pada tahun 1287 Hijriyah dikeluarkan undang-undang yang menjelaskan tentang kedudukan tanah-tanah kekuasaan Turki Utsmani dan tanah-tanah produktif yang berstatus wakaf. Dari implementasi undang-undang tersebut di negara-negara Arab masih banyak tanah yang berstatus wakaf dan diperaktekkan sampai saat sekarang. Sejak masa Rasulullah, masa kekhalifahan dan masa dinasti-dinasti Islam sampai sekarang wakaf masih dilaksanakan dari waktu ke waktu di seluruh negeri muslim, termasuk di Indonesia.

Hal ini terlihat dari kenyataan bahwa lembaga wakaf yang berasal dari agama Islam ini telah diterima (diresepsi) menjadi hukum adat bangsa Indonesia sendiri. Disamping itu suatu kenyataan pula bahwa di Indonesia terdapat banyak benda wakaf, baik wakaf benda bergerak atau benda tak bergerak. Kalau kita perhatikan di negara-negara muslim lain, wakaf mendapat perhatian yang cukup sehingga wakaf menjadi amal sosial yang mampu memberikan manfaat kepada masyarakat banyak.

Dalam perjalanan sejarah wakaf terus berkembang dan akan selalu berkembang bersamaan dengan laju perubahan jaman dengan berbagai inovasi-inovasi yang relevan, seperti bentuk wakaf uang, wakaf Hak Kekayaan Intelektual (Haki), dan lain-lain. Di Indonesia sendiri, saat ini wakaf kian mendapat perhatian yang cukup serius dengan diterbitkannya Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf dan PP No. 42 tahun 2006 tentang pelaksanaannya.

WAKAF

Secara etimologi, wakaf berasal dari perkataan Arab “Waqf” yang bererti “al-Habs”. Ia merupakan kata yang berbentuk masdar (infinitive noun) yang pada dasarnya berarti menahan, berhenti, atau diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah, binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu (Ibnu Manzhur: 9/359).

Sebagai satu istilah dalam syariah Islam, wakaf diartikan sebagai penahanan hak milik atas materi benda (al-‘ain) untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya (al-manfa‘ah) (al-Jurjani: 328). Sedangkan dalam buku-buku fiqh, para ulama berbeda pendapat dalam memberi pengertian wakaf. Perbedaan tersebut membawa akibat yang berbeda pada hukum yang ditimbulkan. Definisi wakaf menurut ahli fiqh adalah sebagai berikut.

Pertama, Hanafiyah mengartikan wakaf sebagai menahan materi benda (al-‘ain) milik Wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan (Ibnu al-Humam: 6/203). Definisi wakaf tersebut menjelaskan bahawa kedudukan harta wakaf masih tetap tertahan atau terhenti di tangan Wakif itu sendiri. Dengan artian, Wakif masih menjadi pemilik harta yang diwakafkannya, manakala perwakafan hanya terjadi ke atas manfaat harta tersebut, bukan termasuk asset hartanya.

Kedua, Malikiyah berpendapat, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki (walaupun pemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad (shighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan Wakif (al-Dasuqi: 2/187). Definisi wakaf tersebut hanya menentukan pemberian wakaf kepada orang atau tempat yang berhak saja.

Ketiga, Syafi‘iyah mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh Wakif untuk diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh syariah (al-Syarbini: 2/376). Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan artian harta yang tidak mudah rusak atau musnah serta dapat diambil manfaatnya secara berterusan (al-Syairazi: 1/575).

Keempat, Hanabilah mendefinisikan wakaf dengan bahasa yang sederhana, yaitu menahan asal harta (tanah) dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan (Ibnu Qudamah: 6/185). Itu menurut para ulama ahli fiqih. Bagaimana menurut undang-undang di Indonesia? Dalam Undang-undang nomor 41 tahun 2004, wakaf diartikan dengan perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.

Dari beberapa definisi wakaf tersebut, dapat disimpulkan bahwa wakaf bertujuan untuk memberikan manfaat atau faedah harta yang diwakafkan kepada orang yang berhak dan dipergunakan sesuai dengan ajaran syariah Islam. Hal ini sesuai dengan fungsi wakaf yang disebutkan pasal 5 UU no. 41 tahun 2004 yang menyatakan wakaf berfungsi untuk mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.

Rukun Wakaf

Rukun Wakaf Ada empat rukun yang mesti dipenuhi dalam berwakaf. Pertama, orang yang berwakaf (al-waqif). Kedua, benda yang diwakafkan (al-mauquf). Ketiga, orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf ‘alaihi). Keempat, lafadz atau ikrar wakaf (sighah).

Syarat-Syarat Wakaf

1. Syarat-syarat orang yang berwakaf (al-waqif)Syarat-syarat al-waqif ada empat, pertama orang yang berwakaf ini mestilah memiliki secara penuh harta itu, artinya dia merdeka untuk mewakafkan harta itu kepada sesiapa yang ia kehendaki. Kedua dia mestilah orang yang berakal, tak sah wakaf orang bodoh, orang gila, atau orang yang sedang mabuk. Ketiga dia mestilah baligh. Dan keempat dia mestilah orang yang mampu bertindak secara hukum (rasyid). Implikasinya orang bodoh, orang yang sedang muflis dan orang lemah ingatan tidak sah mewakafkan hartanya.

2. Syarat-syarat harta yang diwakafkan (al-mauquf)Harta yang diwakafkan itu tidak sah dipindahmilikkan, kecuali apabila ia memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan oleh ah; pertama barang yang diwakafkan itu mestilah barang yang berharga Kedua, harta yang diwakafkan itu mestilah diketahui kadarnya. Jadi apabila harta itu tidak diketahui jumlahnya (majhul), maka pengalihan milik pada ketika itu tidak sah. Ketiga, harta yang diwakafkan itu pasti dimiliki oleh orang yang berwakaf (wakif). Keempat, harta itu mestilah berdiri sendiri, tidak melekat kepada harta lain (mufarrazan) atau disebut juga dengan istilah (ghaira shai’).

3. Syarat-syarat orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf alaih) Dari segi klasifikasinya orang yang menerima wakaf ini ada dua macam, pertama tertentu (mu’ayyan) dan tidak tertentu (ghaira mu’ayyan). Yang dimasudkan dengan tertentu ialah, jelas orang yang menerima wakaf itu, apakah seorang, dua orang atau satu kumpulan yang semuanya tertentu dan tidak boleh dirubah. Sedangkan yang tidak tentu maksudnya tempat berwakaf itu tidak ditentukan secara terperinci, umpamanya seseorang sesorang untuk orang fakir, miskin, tempat ibadah, dll. Persyaratan bagi orang yang menerima wakaf tertentu ini (al-mawquf mu’ayyan) bahwa ia mestilah orang yang boleh untuk memiliki harta (ahlan li al-tamlik), Maka orang muslim, merdeka dan kafir zimmi yang memenuhi syarat ini boleh memiliki harta wakaf. Adapun orang bodoh, hamba sahaya, dan orang gila tidak sah menerima wakaf. Syarat-syarat yang berkaitan dengan ghaira mu’ayyan; pertama ialah bahwa yang akan menerima wakaf itu mestilah dapat menjadikan wakaf itu untuk kebaikan yang dengannya dapat mendekatkan diri kepada Allah. Dan wakaf ini hanya ditujukan untuk kepentingan Islam saja.

4. Syarat-syarat Shigah Berkaitan dengan isi ucapan (sighah) perlu ada beberapa syarat. Pertama, ucapan itu mestilah mengandungi kata-kata yang menunjukKan kekalnya (ta’bid). Tidak sah wakaf kalau ucapan dengan batas waktu tertentu. Kedua, ucapan itu dapat direalisasikan segera (tanjiz), tanpa disangkutkan atau digantungkan kepada syarat tertentu. Ketiga, ucapan itu bersifat pasti. Keempat, ucapan itu tidak diikuti oleh syarat yang membatalkan. Apabila semua persyaratan diatas dapat terpenuhi maka penguasaan atas tanah wakaf bagi penerima wakaf adalah sah. Pewakaf tidak dapat lagi menarik balik pemilikan harta itu telah berpindah kepada Allah dan penguasaan harta tersebut adalah orang yang menerima wakaf secara umum ia dianggap pemiliknya tapi bersifat ghaira tammah.


Dasar Hukum Wakaf

Menurut Al-Quran

Secara umum tidak terdapat ayat al-Quran yang menerangkan konsep wakaf secara jelas. Oleh karena wakaf termasuk infaq fi sabilillah, maka dasar yang digunakan para ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah. Di antara ayat-ayat tersebut antara lain:

Hai orang-orang yang beriman! Nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usaha kamu yang baik-baik, dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (Q.S. al-Baqarah (2): 267)

Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian dari apa yang kamu cintai.” (Q.S. Ali Imran (3): 92)


Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir. Pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi sesiapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. al-Baqarah (2): 261)

Ayat-ayat tersebut di atas menjelaskan tentang anjuran untuk menginfakkan harta yang diperoleh untuk mendapatkan pahala dan kebaikan. Di samping itu, ayat 261 surat al-Baqarah telah menyebutkan pahala yang berlipat ganda yang akan diperoleh orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah.

Menurut Hadis

Di antara hadis yang menjadi dasar dan dalil wakaf adalah hadis yang menceritakan tentang kisah Umar bin al-Khaththab ketika memperoleh tanah di Khaibar. Setelah ia meminta petunjuk Nabi tentang tanah tersebut, Nabi menganjurkan untuk menahan asal tanah dan menyedekahkan hasilnya.

Hadis tentang hal ini secara lengkap adalah; “Umar memperoleh tanah di Khaibar, lalu dia bertanya kepada Nabi dengan berkata; Wahai Rasulullah, saya telah memperoleh tanah di Khaibar yang nilainya tinggi dan tidak pernah saya peroleh yang lebih tinggi nilainya dari padanya. Apa yang baginda perintahkan kepada saya untuk melakukannya? Sabda Rasulullah: “Kalau kamu mau, tahan sumbernya dan sedekahkan manfaat atau faedahnya.” Lalu Umar menyedekahkannya, ia tidak boleh dijual, diberikan, atau dijadikan wariskan. Umar menyedekahkan kepada fakir miskin, untuk keluarga, untuk memerdekakan budak, untuk orang yang berperang di jalan Allah, orang musafir dan para tamu. Bagaimanapun ia boleh digunakan dengan cara yang sesuai oleh pihak yang mengurusnya, seperti memakan atau memberi makan kawan tanpa menjadikannya sebagai sumber pendapatan.”

Hadis lain yang menjelaskan wakaf adalah hadis yang diceritakan oleh imam Muslim dari Abu Hurairah. Nas hadis tersebut adalah; “Apabila seorang manusia itu meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya kecuali dari tiga sumber, yaitu sedekah jariah (wakaf), ilmu pengetahuan yang bisa diambil manfaatnya, dan anak soleh yang mendoakannya.”

Selain dasar dari al-Quran dan Hadis di atas, para ulama sepakat (ijma’) menerima wakaf sebagai satu amal jariah yang disyariatkan dalam Islam. Tidak ada orang yang dapat menafikan dan menolak amalan wakaf dalam Islam karena wakaf telah menjadi amalan yang senantiasa dijalankan dan diamalkan oleh para sahabat Nabi dan kaum Muslimim sejak masa awal Islam hingga sekarang.

Dalam konteks negara Indonesia, amalan wakaf sudah dilaksanakan oleh masyarakat Muslim Indonesia sejak sebelum merdeka. Oleh karena itu pihak pemerintah telah menetapkan Undang-undang khusus yang mengatur tentang perwakafan di Indonesia, yaitu Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Untuk melengkapi Undang-undang tersebut, pemerintah juga telah menetapkan Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang nomor 41 tahun 2004.

Jumat, 10 Februari 2012

Mensikapi Hari Valentine


Oleh. Iwan Hafidz Zaini, S.HI

Pada bulan Februari ini, umat Islam memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada hari Ahad 5 Februari 2012. Dan pada hari itu di Indonesia dijadikan hari libur nasional. Akan tetapi di bulan Februari ini ada hari yang setiap tahunnya dirayakan oleh umat manusia terlebih-lebih para remaja, yaitu hari Valentine yang jatuh pada tanggal 14 Februari setiap tahunnya dan banyak diyakini bahwa pada tanggal 14 Februari adalah hari kematian orang suci umat Nasrani, Santo Valentinus.


Walaupun setiap tanggal 14 Februari tidak dijadikan hari libur, namun masyarakat dunia termasuk Indonesia menjadikan tanggal 14 Februari sebagai hari/tanggal yang spesial bagi diri mereka sendiri, teman, sahabat, kekasih, maupun keluarga untuk menyatakan kasih sayang mereka. Wujud dari ungkapan tersebut mereka aktualisasikan dalam bentuk pemberian barang. Kebanyakan mereka saling memberikan coklat. Hari Valentine atau Valentine's Day -versi aslinya- yang jatuh setiap tanggal 14 Februari adalah sebuah hari di mana para kekasih dan mereka yang sedang jatuh cinta menyatakan cintanya di Dunia Barat. Tradisi pemberian barang di hari valentine berasal dari Amerika Serikat pada paruh kedua abad ke-20, biasanya oleh pria kepada wanita. Hadiah-hadiahnya biasa berupa bunga mawar dan cokelat.


Memang kasih sayang terhadap sesama itu dianjurkan, tidak hanya dalam agama Islam, tapi semua agama pasti menganjurkan kasih sayang. Akan tetapi yang menjadi kekhawatiran dari penganut-penganut agama (yang taat) adalah penyalahgunaan dari kasih sayang tersebut dengan menginterpretasikan kasih sayang dengan hal-hal yang menjerumus ke sex bebas (free sex).


Lalu, ada apa sebenarnya dengan tanggal 14 Februari? Ada banyak versi tentang asal dari perayaan Hari Valentine ini. Yang paling populer memang kisah dari Santo Valentinus yang diyakini hidup pada masa Kaisar Claudius II yang kemudian menemui ajal pada tanggal 14 Februari 269 M. Namun ini pun ada beberapa versi. Yang jelas dan tidak memiliki silang pendapat adalah kalau kita menelisik lebih jauh lagi ke dalam tradisi paganisme (dewa-dewi) Romawi Kuno, sesuatu yang dipenuhi dengan legenda, mitos, dan penyembahan berhala.


Menurut pandangan tradisi Roma Kuno, pertengahan bulan Februari memang sudah dikenal sebagai periode cinta dan kesuburan. Dalam tarikh kalender Athena kuno, periode antara pertengahan Januari dengan pertengahan Februari disebut sebagai bulan Gamelion, yang dipersembahkan kepada pernikahan suci Dewa Zeus dan Hera.


Ketika agama Kristen Katolik masuk Roma, mereka mengadopsi upacara paganisme (berhala) ini dan mewarnainya dengan nuansa Kristiani. Antara lain mereka mengganti nama-nama gadis dengan nama-nama Paus atau Pastor. Di antara pendukungnya adalah Kaisar Konstantine dan Paus Gregory I.


Agar lebih mendekatkan lagi pada ajaran Kristen, pada 496 M Paus Gelasius I menjadikan upacara Romawi Kuno ini menjadi Hari Perayaan Gereja dengan nama Saint Valentine's Day untuk menghormati Santo Valentine yang kebetulan meninggal pada tanggal 14 Februari.


Tentang siapa sesungguhnya Santo Valentinus sendiri, seperti telah disinggung di muka, para sejarawan masih berbeda pendapat. Saat ini sekurangnya ada tiga nama Valentine yang meninggal pada 14 Februari. Seorang di antaranya dilukiskan sebagai orang yang mati pada masa Romawi. Namun ini pun tidak pernah ada penjelasan yang detail siapa sesungguhnya "St. Valentine" termaksud, juga dengan kisahnya yang tidak pernah diketahui ujung-pangkalnya karena tiap sumber mengisahkan cerita yang berbeda.


Menurut versi pertama, Kaisar Claudius II yang memerintahkan Kerajaan Roma berang dan memerintahkan agar menangkap dan memenjarakan Santo Valentine karena ia dengan berani menyatakan tuhannya adalah Isa Al-Masih, sembari menolak menyembah tuhan-tuhannya orang Romawi. Orang-orang yang bersimpati pada Santo Valentine lalu menulis surat dan menaruhnya di terali penjaranya.


Versi kedua menceritakan, Kaisar Claudius II menganggap tentara muda bujangan lebih tabah dan kuat di dalam medan peperangan daripada orang yang menikah. Sebab itu kaisar lalu melarang para pemuda yang menjadi tentara untuk menikah. Tindakan kaisar ini diam-diam mendapat tentangan dari Santo Valentine dan ia secara diam-diam pula menikahkan banyak pemuda hingga ia ketahuan dan ditangkap. Kaisar Cladius memutuskan hukuman gantung bagi Santo Valentine. Eksekusi dilakukan pada tanggal 14 Februari 269 M.


Kemudian oleh Barat peringatan kematian Santo diperingati dengan acara berformat 'kasih sayang' supaya semua umat di dunia bisa memperingatinya termasuk umat Islam. Peringatan kematian dalam Islam disebut HAUL yang diisi dengan tahlil, mendoakan arwah orang yang meninggal . Sedangkan 'HAUL' Valentinus dimeriahkan dengan pemberian barang-barang yang berkesan buat seseorang yang kita cintai. Anehnya, banyak umat Islam yang ikut merayakan 'haul' Valentinus ini.


Apakah tidak boleh bagi umat Islam merayakan hari Valentine?

Memang ada yang mengharamkan berdasarkan hadist, "Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk kaum itu". Ada juga yang memperbolehkan sepanjang parayaan hari kasih sayang yang berupa pemberian barang tersebut tidak melanggar syariat. Misalnya, peringatan hari kasih sayang dengan pemberian barang ke panti asuhan, dan lain sebagainya. Akan tetapi di bulan Februari ini ada peringatan maulid Nabi. Jadi, peringatan kasih sayang bisa dialihkan ke maulid Nabi dengan memberikan barang kepada mereka yang membutuhkan. Hal ini bertujuan sebagai rasa syukur atas diutusnya Nabi Muhammad di muka bumi ini dan memberikan sesuatu kepada yang membutuhkan adalah ajaran Nabi Muhammad SAW..


So, jangan kita nodai kasih sayang dengan sesuatu yang melanggar syariat.

*Penyuluh Agama Islam Kemenag Kab. Boyolali

Khutbah ; Kejujuran Membawa Nikmat


Oleh: Iwan Hafidz Zaini, S.HI
Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,
Pada siang hari ini saya mengajak kepada diri saya sendiri juga kepada hadirin jamaah Jum’at untuk senantiasa menjaga dan meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah Swt. Sebab, kemulyaan manusia dihadapan Allah bukanlah bagi mereka yang berharta, bukan yang berpangkat dan berkedudukan tinggi. Tapi, kemuliaan manusia di hadapan Allah adalah dinilai dari kadar ketaqwaannya. Seberapa besar dia merasa takut kepada Allah, seberapa besar dia merasa selalu diawasi oleh Allah. Karena ketaqwaan inilah yang menunjukkan bahwa puasa kita di bulan Ramadhan benar-benar berkualitas.

Hadirin jamaah Jum’at yang berbahagia,
Salah satu sifat yang dimiliki oleh Rasulullah adalah sifat siddiq (jujur). Sifat inilah selalu diperintahkan oleh Nabi kepada umatnya untuk selalu berbuat jujur. Jujur ini adalah sifat yang gampang-gampang susah. Dikatakan gampang karena seseorang yang tidak terlibat banyak masalah atau kepentingan akan mudah untuk mengatakan sesuatu dengan jujur atau apa adanya. Tapi, apabila dia terlibat dengan suatu masalah dan mempunyai suatu kepentingan maka sangat susah untuk mengatakan kejujuran. Kecuali, tentu saja orang-orang yang konsisten dan berkomitmen dengan kejujuran.

Kenyataan yang kita jumpai disekeliling kita adalah sangat sulit mencari orang yang jujur. Baik jujur dalam ucapan maupun jujur dalam tindakan atau pekerjaan. Ya, itu karena mereka yang tidak jujur tersebut mempunyai kepentingan atau suatu kebutuhan. Sehingga, mereka melakukan ketidakjujuran demi mencapai atau mendapatkan kepentingan tersebut.
Ada yang mengatakan “yen jujur ajur”. Benarkah begitu?

Rasulullah Saw bersabda:
عليكم بالصدق فان الصدق يهدى الى البر وان البر يهدى الى الجنة وان الرجل ليصدق حتى يكتب عند الله صديقا
“Hendaklah kalian selalu jujur karena kejujuran menuntun kepada kebajikan. Dan kebajikan menuntun ke syurga. Sesungguhnya seseorang yang jujur ditulis disisi Allah sebagai orang yang jujur”

Dari hadist di atas jelas bahwa kejujuran membawa ke syurga. Jadi, tidak tepat jika ada yang mengatakan “yen jujur ajur”. Malah sebaliknya, jujur akan membawa kenikmatan yang tak terkira, yaitu syurga. Jika ada yang mengatakan “jujur ajur” kemungkinan itu adalah perkataan di lingkungan yang mayoritas para pendusta, pembohong. Sehingga orang yang jujur akan dimusuhi mayoritas pendusta ini.
Jika kita hidup ditengah para pendusta dan kita tetap konsisten dengan kejujuran kita kemungkinan kita akan dimusuhi oleh para pendusta tersebut dan kemudian kita didzolimi atau dijebak supaya kita yang jujur ini “ajur”. Secara dhohir kita ajur di dunia. Tapi, syurga telah menanti kita. Sebagaimana sabda Nabi tadi. Oleh sebab itu, Rasulullah berpesan:

قل الحق ولو كان مرا
Katakan kebenaran walau pahit (HR. Ibnu Hibban)
Dalam kondisi apapun Rasul menyuruh kita untuk jujur, untuk mengatakan kebenaran walau sangat sulit. Karena Beliau menjanjikan syurga bagi orang-orang yang jujur.

Hadirin jamaah Jum’at yang berbahagia
Di akherat orang yang jujur akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur dan dimasukkan syurga. Di dunia orang yang jujur akan disenangi dan dipercaya makhluk. Orang yang berbisnis dengan kejujuran akan disenangi konsumen ataupun relasi bisnisnya. Seorang pejabat yang jujur akan disenangi rakyatnya. Seorang pegawai yang jujur akan dicintai dan disukai atasannya. Seorang suami yang jujur akan dicintai istrinya. Begitu juga sebaliknya.

Contoh konkrit adalah baginda Nabi Muhammad Saw. Beliau sejak kecil sudah terkenal dengan kejujurannya sehingga beliau dijuluki al-amin (yang dipercaya). Ketika beliau berdagang selalu mengutamakan kejujuran. Termasuk ketika membawakan dagangan Khadijah Ra. Akibat kejujurannya tersebut dagangannya laris dan kemudian Khadijah tertarik dengan beliau dan menjadikannya suami. Ketika beliau meneruma wahyu dan menceritakan kepada masyarakat, banyak yang mengimaninya karena mereka percaya bahwa Muhammad bukanlah pendusta. Walaupun ada yang tidak mengimani itu disebabkan karena sifat egois dan gengsi dari masyarakat Arab khususnya para pemimpin-pemimpin suku/kabilah.

Hadirin jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,
Sebaliknya sikap dusta, bohong akan membawa kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan ke neraka. Sebab satu kedustaan biasanya akan diikuti oleh kedustaan-kedustaan yang lainnya sehingga kehidupannya selalu dilingkupi oleh kedustaan. Bahkan sikat dusta ini merupakan salah satu ciri-ciri orang munafik. Dan orang munafik akan ditempatkan di neraka paling bawah. Sesuai firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 145:

Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka.

Ma’asyirol Muslimin Rahimakumullah,

Oleh karena itu, marilah kita selalu memegang sikap kejujuran ini dalam kondisi dan situasi apapun. Karena hal ini merupakan perintah Allah.

“Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.”


Begitulah orang yang jujur akan mujur. Mujur karena mendapat syurga dan dipercaya banyak orang dan dicintai Allah dan makhluk.

Siapa yang tidak mau mujur di akhir kehidupannya?

tes

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More