Keluarga Besar KUA Boyolali

Pisah kenal Kepala KUA Kec. Boyolali berpose bersama P3N se Kecamatan Boyolali

Kepala KUA Kec. Boyolali

Kepala KUA Kec. Boyolali, H. Kusaeni, S.PdI memberi sambutan dalam rakor P3N Se-Kec. Boyolali

Rakor dan Pembinaan Penyuluh

Rakor dan Pembinaan Penyuluh Agama Islam Fungsional dan Honorer Kecamatan Boyolali

Pelatihan Khatib dan Da'i Muda

Pelatihan Khatib dan Da'i muda merupakan salah satu program tahunan dari KUA Kec. Boyolali dan Penyuluh Agama Islam Kec. Boyolali dan mendapat respon baik dari masyarakat

KUA Kec. Boyolali

Pintu masuk KUA Kec. Boyolali...Monggo Pinaraak..

Senin, 13 Desember 2010

Feminisme dalam Pandangan Fatima Mernissi

Oleh: Iwan Hafidz Zaini


Sampai saat ini, masih ada yang memposisikan perempuan sebagai warga kelas dua (the second people). Hal itu terlihat pada aturan, kebiasaan, budaya dan penafsiran agama yang mengarah pada pengekangan dan perampasan hak-hak perempuan. Dalam masyarakat Islam misalnya, ada anggapan bahwa suara perempuan adalah aurat. Dalam pemahaman ini akses perempuan untuk mengaktualisasikan dirinya di ranah publik terhalangi. Perempuan juga dikebiri hak asasinya untuk maju dan berkembang, melakukan aktifitas diluar rumah, mengaktualisasikan kemampuannya, terjerat dalam mata rantai tugas-tugas domestik dari dapur, sumur, kasur atau menjadi konco wingking.

Sejarah peradaban manusia mencatat bahwa sebelum datangnya Islam, kedudukan wanita sangat mengkhawatirkan. Mereka tidak dipandang sebagai manusia yang pantas dihargai. Bahkan wanita tidak lebih dipandang sebagai makhluk pembawa sial dan memalukan serta tidak mempunyai hak untuk diposisikan di tempat terhormat dimasyarakat. Praktek inhuman ini tercatat berlangsung lama dalam sejarah peradaban masyarakat terdahulu. Dalam tradisi dan hukum Romawi kuno bahkan disebutkan bahwa wanita adalah makhluk yang selalu tergantung kepada laki-laki. Jika seorang wanita menikah, maka dia dan seluruh hartanya secara otomatis menjadi milik sang suami. Ini hamper sama dengan yang tertulis dalam English Common Law, “All real property which a wife held at the time of marriage became a possession of her husband”.

Dalam tradisi Arab, kondisi wanita menjelang datangnya Islam bahkan lebih memprihatinkan. Wanita dimasa Jahiliyah dipaksa untuk selalu taat kepada kepala suku/suaminya. Mereka dipandang seperti binatang ternak yang bias dikontrol, dijual, atau bahkan diwariskan. Arab Jahiliyyah terkenal dengan tradisi mengubur bayi wanita hidup-hidup dengan alasan hanya akan merepotkan keluarga dan mudah ditangkap musuh yang pada akhirnya harus ditebus. Salah satu tradisi yang berkembang di masyarakat jahiliyyah sebelum Islam adalah adanya tiga bentuk pernikahan yang jelas-jelas mendiskreditkan wanita. Pertama adalah, nikah al-dayzan, dalam tradisi ini jika suami seorang wanita meninggal maka anak laki-laki tertua berhak untuk menikahi ibunya. Jika anak berkeinginan untuk menikahinya maka sang anak cukup melemparkan sehelai kain kepada ibunya dan secara otomatis dia mewarisi ibunya sebagai istri. Kedua, zawj al balad, yaitu dua orang suami sepakat untuk saling menukar istri tanpa perlu adanya mahar. Ketiga, zawj al-istibda, dalam hal ini seorang suami bisa dengan paksa menyuruh istrinya untuk tidur dengan lelaki lain sampai hamil dan setelah istri hamil dipaksa untuk kembali lagi kepada suami semula. Dengan tradisi ini diharapkan sepasang suami istri memperoleh bibit unggul dari orang lain yang dipandang mempunyai kelebihan.

Setelah Islam datang, wanita mendapat posisi yang menguntungkan. Term persamaan antara laki-laki dan perempuan tidak hanya sebatas pada hal-hal spiritual atau isu relegius semata. Lebih jauh al-Qur’an berbicara tentang persamaan hak antara laki-laki dan wanita dalam segala aspek kehidupan.

Dalam hal kewajiban moral spiritual beribadah kepada sang Pencipta, al-Qur’an menekankan bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Al-Qur’an menyebutkan bahwa siapapun yang berbuat baik, laki-laki maupun wanita, Tuhan akan memberikan pahala yang setimpal (QS. 3:195 dan 16:97). Untuk hak-hak yang bersifat ekonomis, al-Qur’an mengenal adanya hak penuh bagi wanita sebelum dan sesudah menikah. Jika sebelum menikah, seorang wanita mempunyai kekayaan pribadi, maka begitupun setelah dia menikah. Dia mempunyai hak kontrol penuh terhadap kekayaannya. Dalam hak wanita terjun ke kancah politik, masih terjadi khilaf antara pakar (ulama). Ada golongan yang tidak memperbolehkan wanita terjun ke politik. Mereka berpandangan bahwa laki-laki adalah qowwamun (pelindung) dan pemelihara bagi perempuan. “Man are the protectors and maintainers of women” (QS. Annisa:34). Ada juga ulama yang mendukung wanita berkiprah dalam politik, seperti Muhammad Anis Qosim Ja’far, berpandangan bahwa QS. Annisa ayat 34 berhubungan dengan kepemimpinan suami untuk mendidik istrinya dalam kasus nusyuz (istri durhaka kepada suami). Ini dapat diketahui dari asbabunnuzul ayat tersebut. Dimana surat ini turun berkenaan dengan kasus istri Sa’ad ibn al-Rabi’ yang tidak taat kepada suaminya. Ayat tersebut turun karena sebab khusus, yaitu berkenaan dengan kisah tertentu, masalah keluarga dan tidak ada kaitan dengan keterlibatan perempuan dalam hak-hak politik.

Sebagian orang merasa muak jika membahas masalah feminisme atau kesetaraan gender. Karena mereka menganggap feminisme merupakan biang atau akar terjadinya pornografi atau pornoaksi ataupun menyebabkan banyaknya perceraian.

Tujuan perjuangan feminisme pada umumnya adalah mencapai kesetaraan, harkat dan kebebasan perempuan dalam memilih untuk mengelola kehidupan dan tubuhnya baik di dalam maupun diluar rumah tangga. Tuntutan utama kalangan feminis muslim mula-mula adalah perbaikan tingkat pendidikan dan pemberantasan buta huruf. Diantara para feminis muslim awal ini adalah Aisyah Taymuriyah (penulis dan penyair Mesir 1840-1902) dan Zainab Fawwaz (Lebanon w.1914). setelah itu muncullah feminis Islam antara lain, Raden Ajeng Kartini (Indonesia, 1879-1904), Emilie Ruete (Zanzibar, 1844-1924), Taj as-Shalthanah (Iran), Nabawiyyah Musa (Mesir 1886-1951), Fatima Mernisi (l.1940), Riffat Hassan (l.1943) dan masih banyak lagi. Dalam makalah ini penulis hendak mengulas pemikiran Fatima Mernisi terhadap feminisme.

Fatima Mernissi lahir pada tahun 1940 di Fez, Maroko –sekitar lima ribu kilo meter di sebelah barat Makkah dan seribu kilo meter di sebelah timur Madrid-. Mernisi hidup dalam sebuah keluarga yang mempunyai hudud (batas-batas) yang sangat ketat. Akibat hidup dalam kungkungan tersebut, tidak membuat pikiran Mernissi juga terkungkung. Tapi, sebaliknya Mernissi bisa berfikir terhadap lingkungannya dengan dibantu neneknya yang pada akhirnya membuat Mernissi bisa menulis banyak karya yang diakui oleh dunia.

Fatima Mernissi adalah salah satu diantara banyaknya feminis-feminis muslim dunia. Dari pemikirannya muncul karya-karya yang banyak dijadikan referensi ataupun juga bacaan bagi mereka yang aktif dalam membahas feminisme. Karya-karyanya sudah banyak diterjemahkan kedalam bahasa Arab, Perancis, Inggris, dan Indonesia. Diantara karya-karyanya yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah Teras Terlarang (Dreams of Trespass), Menengok Kontrovesi Peran Wanita dalam Politik dan Pemberontakan Wanita.

Menurut Mernissi, meskipun Islam bermaksud memberikan posisi yang setara antara laki-laki dan perempuan, kecenderungan misoginis yang terutama berasal dari tradisi pra-Islam membuat kesetaraan ideal sukar terwujud.

Salah satu kesimpulan penting dari studi Mernissi adalah bahwa Nabi Muhammad SAW sebenarnya tidak menghendaki pemisahan antara ruang pribadi dan ruang umum (public). Namun karena desakan para pengikutnya, terutama berasal dari Mekah yang menerima revolusi diruang umum tetapi ingin tetap mempertahankan tradisi pra-Islam di ruang pribadi, akhirnya Nabi menerima pemisahan antara ruang pribadi dan ruang umum tersebut. Inilah yang mengakibatkan kedudukan perempuan yang semula membaik menjadi mundur kembali.

Dalam bukunya “Pemberontakan Wanita” Mernissi mengatakan bahwa penempatan posisi wanita di Negara-negara Arab sebagai perampasan atas hak wanita sebagai makhluk Tuhan. Contohnya adalah ledakan penduduk. Negara-negara Arab tidak berusaha menganalisis penyebab ledakan penduduk yang dimungkinkan dapat berpengaruh terhadap pengidentifikasian kaum wanita buta huruf serta marginalisasi ekonomi sebagai faktor penyebabnya. Mereka justru sibuk menganjurkan pemakaian cadar, pengembalian peran wanita di dalam rumah, dan pembatasan geraknya. Sementara usaha memberikan peluang bagi wanita untuk maju disegala lini dan pengambilan keputusan tidak ada. Tugas wanita dalam konsep agama dan konsep ilahiyyah adalah manipulasi politik dalam Islam yang tidak merdeka, pemingitan dan pembatasan wanita di ruang domestic (rumah tangga) yang masih dianggap ‘wajar’ oleh kebanyakan orang, bagi Mernissi merupakan sesuatu yang perlu ditinjau kembali.

Dalam hadits Nabi yang seakan-akan melarang perempuan berkiprah dalam wilayah politik yang berbunyi “Tidaklah akan jaya suatu kaum yang menyerahkan urusan kepada perempuan”. Mernissi berpandangan bahwa hadits tersebut termasuk hadits yang berkenaan dengan suatu kasus tertentu. Rasulullah mengatakan, bahwa hadits ini berkaitan dengan putrid Kisra, penguasa Persia yang menjabat kepala Negara yang tidak mempunyai anak laki-laki yang bias diangkat menjadi raja. Selain itu, hadits ini termasuk hadits ahad, yaitu hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah oleh para perowi yang jumlahnya tidak mencapai jumlah para perowi mutawattir. Hukum hadits ahad tidak mendatangkan keyakinan, melainkan hanya mendatangkan dugaan kuat (zhaan) saja. Oleh karena itu tidak boleh bersandar pada hadits ahad dalam hukum-hukum yang sangat penting.

Menengok kembali kondisi atau kiprah muslimah pada masa Rasul tercermin dalam kajian-kajian yang langsung dipimpin oleh Rasulullah yang melibatkan para sahabat dan muslimah dalam satu majlis. Terlihat jelas bagaimana muslimah masa itu mendapatkan hak untuk menimba ilmu, mengkritik, bersuara, berpendapat dan atas permintaan muslimah sendiri meminta Rasul satu majlis terpisah untuk mendapat kesempatan lebih banyak berdialog dan berdiskusi dengan Rasulullah. Terlihat juga geliat aktifitas perempuan sahabat Rasul dalam panggung bisnis, politik, pendidikan, keagamaan,dan sosial.

Kiprah wanita dalam masyarakat sangat dibutuhkan. Sampai-sampai perannya tak dapat tergantikan. Pada posisi inilah keterlibatan wanita dalam masyarakat menjadi wajib hukumnya. Dibidang politik misalnya, muslimah harus ada disana untuk mewakili aspirasi kaum hawa. Dibidang kedokteran, barisan dokter muslimah sangat dibutuhkan untuk merawat pasien-pasien wanita. Bahkan signifikasi ini juga berlaku pada penanganan prostitusi, kenakalan remaja, anak jalanan atau dakwah sesame kaum hawa sendiri. Oleh karena itu, kritik terhadap perempuan jangan sekali-kali dikaitkan dengan ke-perempuan-nya perempuan, melainkan karena kapabilitasnya terutama dalam memegang jabatan publik.

* Penulis adalah Penyuluh Agama Islam Kankemenag Kab. Boyolali

tes

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More